![]() |
| Ketua PC PMII Banyuwangi, Haikal Roja’ Hasbunallah.(Dok/Istimewa). |
Sebelumnya, kawasan tersebut dikelola dengan pola agroforestri, yakni memadukan tanaman keras dan tanaman tahunan seperti kopi, alpukat, serta pepohonan hutan. Pola ini dinilai mampu menjaga kestabilan tanah, meningkatkan daya serap air, serta menekan risiko erosi. Namun, kini vegetasi tersebut beralih menjadi tanaman hortikultura semusim yang berakar dangkal dan berumur pendek, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi ekologis sebagaimana vegetasi hutan.
Ketua PC PMII Banyuwangi, Haikal Roja’ Hasbunallah, menilai pembukaan lahan dalam skala besar di wilayah hulu berpotensi meningkatkan risiko banjir bandang, tanah longsor, serta penurunan kualitas sumber mata air yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat di wilayah hilir.
“Kawasan hulu Gunung Ijen memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan hidrologi. Ketika hutan dan vegetasi alami digantikan oleh tanaman semusim seperti cabai dan jagung, risiko banjir akan meningkat secara signifikan. Kami tentu tidak berharap keselamatan masyarakat dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek,” ujarnya, Jumat (5/12/2025).
PMII Banyuwangi menilai aktivitas tersebut berpotensi tidak sejalan dengan prinsip konservasi kawasan lindung. Oleh karena itu, mereka mendorong pemerintah daerah untuk segera melakukan investigasi secara menyeluruh terkait legalitas serta dampak lingkungan dari pembukaan lahan tersebut.
Haikal juga menekankan pentingnya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dalam setiap aktivitas pembukaan lahan berskala besar. Menurutnya, kelalaian terhadap aspek tersebut dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang bagi masyarakat.
“Masyarakat di Kecamatan Licin, Kalipuro, dan sekitarnya berpotensi menjadi pihak pertama yang merasakan dampaknya. Ketika musim hujan tiba, ancaman banjir dan longsor sangat mungkin terjadi akibat berkurangnya fungsi penyangga alami,” tegasnya.
Selain itu, PMII Banyuwangi menyoroti adanya dugaan ketidaksesuaian antara praktik di lapangan dengan ketentuan dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 188/108/KEP/429.011/2029. Dalam keputusan tersebut, PT Lidjen tercatat sebagai pemegang Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05/HGU/BPN RI/2016 dengan total luas lahan 1.545,185 hektare untuk komoditas tanaman keras seperti cengkeh, kopi, dan tebu. Namun, sebagian lahan justru ditanami tanaman hortikultura berupa cabai dan jagung.
“Ketidaksesuaian ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi juga menyangkut kepatuhan terhadap izin serta keselamatan ekologis dan keberlangsungan hidup masyarakat di sekitar kawasan,” pungkas Haikal. (Red)


Komentar