|
Menu Close Menu

Main Atas, Main Bawah

Kamis, 25 Juni 2020 | 12.33 WIB


Oleh Moch Eksan

Semenjak tanggal 15 Juni 2020 lalu, Tahapan Pilkada Serentak 2020, dilanjutkan kembali. Selama 3 bulan lebih, tidak ada kepastian waktu pelaksanaan pilkada, sampai Perpu No 2/2020 disahkan DPR. Pada hari-hari itu, bakal calon dapat nyantai sejenak kumpul dengan keluarga, sembari melakukan campaign from home (kampanye dari rumah).

Beberapa minggu ini, bakal calon yang recana maju melalui partai politik berebut surat rekomendasi kembali. Sementara, bakal calon yang lewat jalur perseorangan sedang memasuki tahapan verifikasi faktual dukungan calon.

Berdasarkan Peraturan KPU No 15/2020, proses pendaftaran pasangan calon kepala daerah pada KPUD, dilaksanakan tanggal 4 - 6 September 2020. Waktu kian mepet ini, yang memaksa bakal calon untuk memastikan dukungan partai politik pengusungnya. Sekarang, antar bakal calon saling mengklaim dukungan dari partai politik tertentu. Meski terkadang klaim tersebut tidak didukung dengan dokumen tertulis.

Anehnya, para pimpinan partai politik tingkat daerah, sering terlambat mengetahui surat rekomendasi yang turun dari pimpinan partai politik di tingkat pusat. Bakal calon, banyak yang langsung memby-pass ke pusat, dan terkadang daerah ditinggalkan. Apalagi, bila bakal calon kurang mendapat akses informasi dari daerah, atau ada conflict of interest antar mereka.

Dalam perebutan surat rekomendasi, bakal calon ada yang "main atas" dan "main bawah". Dan, ada pula yang "main atas-bawah". Pimpinan partai politik tingkat pusat sendiri acapkali kurang percaya struktur partai di bawahnya. Pengalaman Pilkada 2005, 2010, 2015, pimpinan partai di tingkat daerah bermain sendiri, dan mengabaikan surat rekomendasi dari pusat. Dualisme dukungan ini, merepotkan KPUD dalam proses penetapan pasangan calon. Keputusan apa pun sangat resisten dan rentan digugat secara hukum.

Sekarang norma hukum yang membuka peluang dualisme dukungan dan perbedaan dukungan antar tingkat pengurusan partai politik, sudah tertutup. Sebab, proses pengajuan pasangan calon oleh pimpinan partai politik setingkat, harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan partai politik tingkat pusat. Bila tidak, KPUD dapat mencoret dari surat pencalonan, dan partai tersebut dianggap hanya pendukung bukan pengusul.

Ketentuan di atas terdapat pada Pasal 39 ayat (3) huruf c, dan Pasal 41 ayat (1) Peraturan KPU No 1/2020. Sehingga, bakal calon harus "main atas" dan juga "main bawah". Bila hanya salah satu yang dimainkan, sangat mudah diprank. Yang rugi bakal calon sendiri. Bila hanya main di daerah, berisiko tidak bisa ikut pemilu. Dan bila hanya main di pusat, berisiko tak didukung. Kedua-duanya, sama-sama kalah. Pilihannya tinggal mau kalah di awal atau mau kalah di akhir.

Di negeri demokrasi antah berantah, istilah Surya Paloh, proses demokrasi sangat liberal dan kapitalistik. Setiap tahapan pemilihan seperti "pasar bebas" yang tak mengindahkan democratic civilization (keadaban demokrasi). Politik seperti hukum rimba. Siapa yang kuat, maka dialah yang menang.

Perebutan surat rekomendasi ibarat sebuah pertandingan pencak silat merupakan babak penyisihan. Babak ini sangat menentukan, seseorang lanjut atau tidak berlaga. Tentu, pemilu lebih berat dari pertandingan tersebut. Pemilu itu "perang modern" yang sah dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Bakal calon, sangat memahami, bahwa politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedang perang adalah politik dengan pertumpahan darah. Padangan Mao Zedong ini mendorong, agar berpolitik atau pun berperang dilakukan dengan totalitas. Resikonya sangat besar secara materil dan moril. Bisa-bisa kata pepatah, "menang jadi arang dan kalah jadi abu". Sehingga, apa pun caranya surat rekomendasi harus dikantongi, dan pilkada harus dimenangkan.

Jabatan kepala daerah itu sangat prestisius. Di tiap daerah hanya ada 1 kursi. Namun demikian, orang yang berminat sangat banyak, sehingga mau tidak mau, dalam proses pencalonan, partai politik harus memilih yang terbaik, yang berpeluang menang, dan diyakini akan mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Meski sudah melalui seleksi yang sangat ketat, tak banyak kepala daerah yang dinilai berhasil dalam memajukan daerah dan berkonstribusi terhadap pembangunan nasional. Pemerintah Pusat dan beberapa media nasional pada 2018 dan 2019 lalu, memberikan penghargaan terhadap "kepala daerah berprestasi".

Pada April 2018, Wakil Presiden Jusuf Kalla, memberikan penghargaan kepala daerah berprestasi. 7 besar di antaranya: Bupati Malang dan Bupati Pasuruan, yang berasal dari Propinsi Jawa Timur.

Pada Agustus 2019, Koran Sindo memberikan penghargaan terhadap kepala daerah berprestasi. 27 besar di antaranya: Bupati Pasuruan dan Walikota Malang yang berasal dari Propinsi Jawa Timur.

Pada Oktober 2019, Okezone.com memberikan penghargaan terhadap kepala daerah berprestasi. 18 besar di antaranya: Bupati Banyuwangi dan Gubernur Jawa Timur yang berasal dari Propinsi Jawa Timur.

Data di atas, mengkonfirmasi bahwa betapapun ketatnya seleksi calon kepada daerah oleh partai politik dalam proses pencalonannya, tidaklah mudah mendapatkan sosok pemimpin yang sukses gemilang dalam membangunan daerah. Bahkan, menurut Wawan Sabari, kepala daerah berprestasi itu semacam "mitos". Banyak studi menyebutkan, sesungguhnya, sistem pemilihan langsung mendorong lahirnya kepada daerah berprestasi dalam peningkatan kesejahteraan, terutama dalam menurunkan angka kemiskinan, angka pengangguran, dan peningkatan pendapatan rakyat.

Oleh sebab itu, keinginan untuk mengembalikan pemilihan kepada daerah pada DPRD, apa pun alasannya, sama dengan mutar arah jarum jam dan bangsa ini setback mundur kebelakang. Usulan Pilkada asimetris pemerintah juga sama. Ujungnya, indeks demokrasi, kesejahteraan dan kepastian hukum, dikhawatirkan akan turun drastis. Bangsa ini sungguh akan merugi.

Penulis adalah Pendiri Eksan Institute dan Ketua Bidang Agama dan Masyarakat Adat DPW Partai Nasdem Jatim

Bagikan:

Komentar