|
Menu Close Menu

Gula, Dilema dan Contoh Thailand

Minggu, 13 Juni 2021 | 05.50 WIB

 

Ilustrasi (Dok/Berdikari Online)


Oleh: Moch Eksan


Gula merupakan bahan pokok strategis. Kebutuhan gula tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Kendati pengambil kebijakan mengerti soal ini. Target swasembada gula tak kunjung nampak hasilnya. Malahan negeri ini menjadi importir gula terbesar di Asia.


DILEMA MANAGERIAL

Kebutuhan gula nasional per tahun 5,8 juta ton. Sementara industri gula nasional hanya mampu memenuhi 2,1 juta pertahun. Selama ini untuk mengatasi defisit gula nasional tak ada jalan lain, kecuali peningkatan jumlah impor gula. Cara ini sesungguhnya bukan solusi, tapi terpaksa ditempuh. Lantaran kapasitas industri gula menghadapi dilema managerial.


Pertama, terjadi penyusutan areal lahan tanaman tebu. Terutama produksi tebu yang berasal dari perkebunan rakyat. Sementara, areal lahan perkebunan rakyat adalah areal terbesar dibandingkan dengan perkebunan negara dan swasta.


Dari 450 ribu hektar luas areal tanaman tebu nasional. Sejumlah 266 ribu hektar berasal dari perkebunan rakyat. Perkebunan negara dan swasta masing-masing 67 ribu dan 118 ribu hektar.


Kedua, peningkatan kualitas rendemen tebu acapkali gagal. Kelangkaan pupuk, kenaikan biaya perawatan sebab upah buruh dan obat-obatan, menjadi biangkerok dari kegagalan target produksi tebu nasional.


Pada 2019, pemerintah menargetkan swasembada gula konsumsi. Produksi gula diharapkan bisa mencapai 3,3 juta ton. Ini dengan asumsi produksi tanaman tebu 100 ton per hektar dan dengan rendemen rerata 9 persen.


Faktanya, target tersebut jauh api dari panggang. Produksi tebu nasional tak beranjak dari 80 ton per hektar dan dengan rendemen rerata 8 persen.


Ketiga, impor gula dianggap lumrah dan biasa dalam perdagangan dunia. Padahal, kebijakan jalan pintas ini menjadi penghalang untuk mewujudkan swasembada gula nasional.


Tak mungkin, Indonesia dapat mewujudkan kedaulatan pangan. Dan kedaulatan pangan mustahil tanpa swasembada gula. Spirit ini tak tertanam dalam pemikiran stakeholder gula nasional. Kecuali orientasi meraup untung sebesar-besarnya dalam tata niaga gula yang ada.


Keempat, kekalahan komoditas gula nasional berlatar biaya produksi pertanian tebu dan pabrik gula yang tinggi. Program modernisasi pertanian tak disambut baik oleh petani. Dan mesin pabrik gula yang kebanyakan sudah tua, tak efisien dan tanpa mengalami modernisasi mekanik.


BPS 2018 menyebutkan, kantong petani tebu menyebar di Provinsi Jawa Timur 51,15 persen, Lampung 27,45 persen, Jawa Tengah 7,82 persen, Sumatera Selatan 4,46 persen, dan Jawa Barat 2,75 persen. Sentra pabrik gula juga di 5 propinsi tersebut.


Tanpa restorasi mental petani dan modernisasi pabrik gula, cita-cita swasembada gula hanya tinggal angan-angan belaka. Padahal, gula merupakan komoditas strategis yang menjanjikan dari segi politik dan ekonomi Indonesia.


Di balik dilema di atas, ada peluang besar bagi perkebunan rakyat, negara dan swasta. Bagaimana industri gula nasional dapat mensuplai kebutuhan dalam negeri. Sehingga impor gula senilai USD 3,87 miliar tak mengalir keluar, tapi menambah pundi-pundi dalam negeri.


CONTOH THAILAND

Selama ini, pasar gula nasional bergantung pada pasokan dari negara lain. Antara lain Thailand memasok 80,29 persen, Australia 18,35 persen, Brazil 1,19 persen, Korea Selatan 0,14 persen, Malaysia 0,02 persen, negara lain 0,01 persen. Tentu persentase tersebut mengacu pada jumlah impor gula Indonesia setiap tahunnya.


Muncul pertanyaan menggelitik, bisakah Indonesia sebagai negara agraris menyusul Thailand, Australia, Korea Selatan, Malaysia dan negara eksportir gula lainnya? Jawabannya, pasti bisa. 


Areal perkebunan Indonesia lebih luas, jumlah petani lebih banyak. Tinggal bagaimana meningkatkan kualitas produksi tanaman tebu dan kuantitas produksi pabrik gula yang sudah beroperasi sejak industrialisasi digalakkan oleh Hindia Belanda pada 1870.


Pada era penjajahan Belanda, sekurang-kurangnya, ada 196 pabrik gula yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Sayangnya, pabrik gula yang aktif tinggal hanya 41, sedangkan 155 pabrik gula sudah berstatus nonaktif.


Kondisi ini yang memperburuk ketergantungan kebutuhan gula nasional pada impor. Bila ingin swasembada gula, bisa mencontoh Thailand dalam manajemen industri gula mereka.


Di negeri Gajah Putih tersebut, hanya ada 57 pabrik gula. Ada 300 ribu petani dengan luas areal tanaman tebu 1,6 juta hektar. Pada 2019, mereka menggiling tebu 130,92 juta ton. Giling tebu ini menghasilkan gula  14,58 juta ton. 


Mereka mengkonsumsi gula 20 persen. Dan 80 persen hasil produksi gulanya diekspor ke luar negeri. Wabilkhusus ke Indonesia.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar