|
Menu Close Menu

Benarkah Pembiayaan Bank Syariah Lebih Mahal?

Jumat, 23 Juli 2021 | 19.08 WIB

 


Oleh : Faizi*


Opini- Baru-baru ini, Ustad Yusuf Mansur (YM) mengkritik mahalnya pembiayaan bank syariah dibandingkan pembiayaan bank konvensional melalui akun twitter resminya. Menurut dia, pembiayaan di bank syariah seharusnya lebih murah, mudah dan serta terjangkau agar lebih kompetitif dan berdaya saing dengan bank konvensional, terutama pasca margernya tiga bank syariah naungan Himbara menjadi satu atap bernama Bank Syariah Indonesia (BSI) yang notabene bank milik pemerintah. 


Apa yang disampaikan YM sepintas benar, tapi mengandung banyak kekeliruan dan karenanya mendesak untuk diluruskan. Sisi yang lain, fakta masih mahalnya pembiayaan syariah pada bank syariah juga perlu dikoreksi dan disempurnakan agar sesuai dengan falsafah dasar pendirian lembaga keuangan syariah ini. Meluruskan persepsi yang salah tentang hal ikhwal pembiayaan syariah dari seorang tokoh agama dan mengoreksi langkah bisnis dari lembaga keuangan syariah yang keliru menjadi tanggungjawab kolektif kita agar masyarakat dan pelaku industri syariah tidak disuguhi informasi sesat dan menyesatkan di tengah rendahnya literasi keuangan berbasis syariah di Indonesia. Tulisan ini hendak menjawab kekeliruan atau mungkin kealfaan tersebut.


Berkaitan dengan komentar YM, disana tidak dijelaskan secara tegas model pembiayaan seperti apa yang menurutnya lebih mahal dari pembiayaan bank konvensional dan karenanya perlu dikritik secara terbuka. Ketidaktegasan atas objek kritik ini serta merta menjadi pintu masuk bagi munculnya miskonsepsi lanjutan yang sangat membahayakan. Membahayakan karena yang ia kritik mungkin tidak sesuai dengan fakta sebenarnya dan keumuman pelaksanaan pembiayaan syariah yang ada pada bank syariah dan model bisnis syariah yang dijalankan oleh pihak manajemen.


Sebagaimana difahami, skim pembiayaan pada bank syariah sangatlah banyak, variatif dan unik. Kesemuanya tergantung sepenuhnya pada jenis pembiayaan yang akan diambil dan serta sesuai dengan karakter bisnis yang dijalankan oleh calon nasabah, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, ijarah muntahiya bittamlik dan lainnya. Masing-masing jenis akad tersebut mempunyai standar dan mekanisme tersendiri dalam hal penentuan harga, margin keuntungan/bagi hasil dan lainnya. Memukul rata terhadap praktik penentuan harga dan keuntungan yang ditetapkan pada pelbagai variasi pembiayaan yang tersedia jelas tidak adil dan tidak proporsional, mengingat perbedaan skim pembiayaan berikut akad yang digunakan mempunyai konsekwensi logis terhadap perbedaan harga, keuntungan dan margin bagi hasilnya.


Pada pembiayaan murabahah, misalnya berlaku ketentuan yang didasarkan pada akad jual beli plus keuntungan bagi penjual, dalam hal ini pihak bank syariah. Sementara, pada akad musyarakah mutanaqishah (diminishing partnership) berlaku ketentuan berdasarkan kepemilikan bersama atas suatu barang atau aset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Demikian pula, akad ijarah muntahiya bittamlik dibangun di atas perjanjian sewa-menyewa barang atau aset yang diakhiri dengan pemindahan hak milik dengan cara jual beli atau hibah di akhir masa sewa dan akad sejenis lainnya. Kesemua akad di atas sah dan dibenarkan hukum Islam dan karenanya mengambil keuntungan/margin atas jenis transaksi tersebut juga sah dan tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku baik hukum positif maupun hukum Islam.


Maka, perdebatan mahal tidaknya praktik pembiayaan pada bank syariah sepatutnya dikaitkan terlebih dahulu dengan jenis pembiayaan dan keumuman akad yang digunakan pada semua alternatif pembiayaan yang ada pada bank syariah lalu dibandingkan secara apple to apple dengan praktik permbiayaan yang berlaku pada bank konvensional. Minimal, usaha perbandingan yang dilakukan sedikit lebih fair dan tidak bias dan masyarakat tidak disesatkan dengan informasi yang tidak utuh serta membingungkan.


Secara teoritis faktor pembeda antara pembiayaan syariah dengan konvensional terletak pada akad yang digunakan, apakah jual beli (murabahah), sewa (ijarah), kerjasama kepemilikan (mudharabah/musyarakah), dan lainnya. Alternatif model dan jenis pembiayaan seperti ini tidak akan ditemukan pada pembiayaan yang dijalankan bank konvensional. Inilah salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya, utamanya dalam memberikan layanan keuangan berbasis syariah di Indonesia.


Perbankan syariah sebenarnya adalah institusi bisnis yang menjalankan fungsi intermediasi keuangan layaknya lembaga keuangan pada umumnya. Bedanya, ia dijalankan dan dioperasionalkan dengan mengikuti ketentuan dan prinsi-prinsip syariah. Karena menjalankan fungsi utama intermediasi keuangan, maka ia berhak dan dibenarkan membebankan biaya dan harga yang terakumulasi dalam bentuk keuntungan bisnis pada semua produk dan layanan yang ditawarkan dengan catatan tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan ketentuan syariat lainnya. Kedua ketentuan hukum tersebut mengikat secara mandatori pada semua lembaga bisnis dan keuangan yang dijalankan dengan prinsip syariah.


Karenanya, menjadi amat keliru kalau kemudian operasionalisasi bank syariah dan lembaga syariah lainnya dipersepsikan sebagai lembaga donor yang hanya berorientasi pada kerja-kerja pemberdayaan sosial-kemasyarakat tanpa adanya pamrih dalam bentuk materi atau keuntungan sedikit pun. Sekali lagi, ia adalah lembaga bisnis yang dibenarkan dan disahkan konstitusi dan hukum Islam untuk mengambil keuntungan secara wajar dan normal demi keberlangsungan hidup bisnis yang dijalankan. Dengan demikian, perdebatan mahal tidaknya pembiayaan syariah pada bank syariah menjadi sangat relatif dan inter-personal.


Berkaitan dengan praktik masih mahalnya pembiayaan pada bank syariah juga tidak bisa dilepaskan dengan kondisi pasar bank syariah yang masih rendah dan kecil, yakni masih berada di kisaran 6,55% dari perbankan konvensional. Tentu, rendahnya pangsa pasar ini bukan satu-satunya faktor penentu atas mahal tidaknya pembiayaan pada bank syariah. Faktanya, pangsa pasar yang rendah berbanding lurus dengan kemampuan penyaluran pembiayaan, artinya semakin tinggi pangsa pasarnya otomatis semakin kuat kemampuan pembiayaannya. Dalam kadar tertentu, keuntungan/margin yang ditetapkan sebenarnya tidak ada kaitannya dengan syariah dan non-syariah, tetapi lebih pada kemampuan dana yang dikumpulkan. Bahkan sampai saat ini, belum ada bank syariah yang masuk kategori buku IV. Karenanya membesarkan pangsa pasar bank syariah menjadi salah satu alternatif jalan keluar terbaik atas masih tingginya pembiayaan syariah pada bank syariah kita.

(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo edisi 09 Juli 2021) 


(*Penulis adalah Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, dan Penulis Buku Pengembangan Produk Perbankan Syariah di Indonesia.

Bagikan:

Komentar