|
Menu Close Menu

Sistem Proporsional Terbuka Lebih Menjamin Kewajiban Baiat

Sabtu, 03 Juni 2023 | 18.57 WIB

Ilustrasi. (Dok/Istimewa).


Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap judicial review Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menimbulkan ketidakpastian sistem. Satu sisi tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Sisi lain MK belum mengambil putusan terhadap gugatan sistem pemilu.


Banyak calon legislatif memilih menahan diri, sampai MK memutus perkara uji materi UU Pemilu tersebut. Sebab itu, mereka banyak yang gamang. Khawatir, rezim pemilu terbuka berubah menjadi rezim pemilu tertutup. 


Perubahan ini jelas merampas hak konstitusional rakyat dalam memilih calon legislatif. Lebih dari 205,8 juta pemilih kehilangan haknya untuk melaksanakan baiat terhadap wakilnya di parlemen di berbagai tingkatan. 


Disamping, caleg yang diusulkan partai peserta pemilu kehilangan kesempatan dipilih rakyat. Tak kurang dari 347 ribu lebih dari caleg DPR RI, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/kota tertutup kesempatan terpilih secara langsung dengan suara terbanyak.


MK sebagai the guardian of the constitution (penjaga konstitusi) diragukan banyak kalangan. Apalagi, dalam proses persidangan, Hakim Konstitusi senior Arief Hidayat menawarkan hybrid system sebagai sistem pemilu baru. Mantan Ketua MK sebelum adik ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Ustman ini, menunjukkan sikap parsial dalam perkara uji materi UU Pemilu.


Rumor di luar, terus berkembang soal peta kekuatan hakim konstitusi. Bahwa dari 9 hakim, rezim sistem tertutup lebih dominan dari rezim terbuka. Ini alamat demokrasi akan mengalami kemunduran. Apalagi dengan telanjang, Denny Indrayana mengungkap bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup dengan skor 6:3.


Sinyalemen Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengundang kontroversi yang luas. Pro-kontra terjadi, sampai 8 fraksi mengancam akan mempreteli kewenangan dan budget MK. Bila para hakim konstitusi ngotot merubah sistem pemilu yang bukan kewenangannya.


Sistem pemilu merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang mulai diperkenalkan dalam Putusan MK No. 010/PUU-III/2005. Suatu kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu pada undang-undang yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.


Artinya, Pemerintah dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang yang punya wewenang untuk mengatur sistem pemilu, bukan MK. Bila hakim konstitusi ikut-ikut menawarkan hybrid system, maka MK sudah salah jalan. Rakyat pasti meluruskan jalan MK dengan caranya sendiri yang bisa menimbulkan choas dan instabilitas politik.


Jujur harus diakui, bangsa ini mengalami "krisis konstitusi" yang kongkrit. Keputusan MK mulai dinilai aneh dan nyeleneh. Publik mulai kurang percaya terhadap beberapa keputusan yang telah diambil. MK mulai mengatur masa jabatan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPK) menjadi 5 tahun, namun menolak batas usia pensiun prajurit TNI.


Publik banyak yang terusik rasa keadilannya, bagaimana MK menambah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Sedangkan, mayoritas hakim panel MK menolak penambahan batas usia pensiun prajurit 53 tahun dari Bintara dan tamtama, serta 58 tahun dari perwira.


Inkonsistensi terhadap norma open legal policy di atas, yang mencemaskan partai, caleg dan aktivis demokrasi Indonesia. Bila MK nekad, tanpa membaca dengan cermat konstalasi politik hukum yang ada, dengan tiba-tiba membuat keputusan blunder meracuni bunga-bunga demokrasi yang tumbuh dan berkembang di taman Indonesia. Padahal, para hakim konstitusilah yang mendapat mandat untuk menjaga kedaulatan rakyat berdasarkan Pasal 1 UUD 1945.


Jadi, sistem proporsional terbuka dalam persepektif fiqih demokrasi lebih berakar kedaulatan rakyat daripada sistem proposional tertutup. Dalam Tarikh Thabari, dikisahkan pada saat Imam Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Kholifah oleh ahlulhalli walaqdi, dia tetap meminta persetujuan dari umat. Suami Siti Fatimah putri Rasulullah SAW ini berdiri di dalam masjid dan minta baiat dari umat.


Pemilu sesungguhnya permusyawaratan agung yang melibatkan umat untuk memilih pemimpin atau wakilnya dalam lembaga perwakilan. Hikayat Imam Ali di atas dikukuhkan oleh atsar Khalifah Umar Ibnu Khattab. Bahwa seseorang yang melakukan baiat pada pemimpin tanpa musyawarah, maka baiat yang bersangkutan tidak sah.


Rasulullah SAW meminta pada para sahabat anshor untuk memilih 12 orang dari mereka dalam bai'ah nuqaba (wakil-wakil suku) dalam mengawal pemenuhan apa yang menjadi kebutuhannya. Para sahabat asal Yatsrib tersebut memilih orang bukan bendera.


Dalam konteks fiqih pemilu, hasil musyawarah alim ulama pada Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Padang Panjang Sumatera Barat pada 2009, menyebutkan bahwa memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.


Dengan demikian, sistem proposional terbuka lebih menjamin pemenuhan kewajiban baiat pada pemimpin dan wakilnya daripada sistem proporsional tertutup. Sebab, kewajiban baiah pada orang bukan pada gambar partai. Nabi SAW mengingatkan: "Barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.” Naudzubillahi min dzalik!!!!!


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar