|
Menu Close Menu

Fantasi Absurd Kampanye Koalisi FINAL

Selasa, 08 Oktober 2024 | 06.55 WIB

 

Ilustrasi. (Dok/Hukumonline.com). 

Oleh : NK Gapura


Lensajatim.id, Opini- Fantasi kampanye koalisi FINAL, jika boleh dikata, sudah di luar norma politik yang ada. Setiap kali bertemu para muhibbinnya, ragam cerita seputar simpati warga selalu menjadi cerita utama.


Katanya, setiap kali berkampanye, banyak warga yang memberi simpati. Selain menyumbang uang, ada juga yang menyedekahkan ayam. Nominal uangnya tidak seberapa. Jumlah ayamnya pun tidak lebih banyak dari jemari tangan kanan kita.


Padahal, lumrahnya, grand design kampanye harus disiapkan sebaik mungkin oleh kontestan, konsultan dan relawan. Grand design itu diterjemahkan dan disesuaikan dengan masing-masing medan. Sebab beda wilayah, beda pula cara menyampaikan pesan.


Maka, jika kampanye hanya bergantung pada simpati warga, apa yang bisa diharapkan? Seberapa kuat simpati itu bisa dijaga dan di akhir pertarungan bisa memberikan kemenangan? Tentu tidak ada jaminan.


Kesalehan hidup ala kampung, yang suka berbagi dan membantu sesama, tidak cocok untuk jadi senjata di kampanye pilkada. Hari ini, gelaran pilkada adalah kerja politik. Penuh intrik, bahkan kadang perlu licik. Jadi, sulit untuk dibuat asyik. 


Lagi pula, politik kita sedang tidak baik-baik saja. Hari ini rakyat terancam terjebak di tengah pusaran politik dinasti, disorientasi dan persekusi. Dalam politik, katanya, rakyat hanya atas nama. Semua telah direkayasa. Inilah contoh politik persekusi yang sederhana. 


Dan tidak dipungkiri, hari ini, politik kita sangat bergantung pada seberapa kuat ongkosnya. Pertama, ongkos untuk kampanye. Jika ongkos memadai, maka penerjemahan grand design kampaye yang disiapkan akan mudah direalisasikan. 


Setiap pertemuan, minimal harus ada minuman agar tidak terkesan sedang puasa bersama. Di samping itu, meski belum terverifikasi, tersiar kabar bahwa ongkos politik juga harus diperuntukkan kepada para pelaksana dan para pemilihnya. Baik secara formal atau non formal.


Berpolitik, hari ini, tidak bisa hanya mengandalkan simpati belaka. Itulah kenapa, setiap politisi yang kalah di Pilkada, mereka sering berkata, politik terlalu mahal harganya. Dan sejauh ini, belum ada politisi lain yang tidak terima dengan pernyataan itu. Rasanya, semua setuju. 


Maka, ketika kampanye politik hanya didasarkan dari fantasi kesalehan ala kampung belaka, koalisi FINAL sudah harus siap dengan kekalahannya. Harus siap kalah. Dan jika mereka menang dengan cara itu, mungkin cara berpolitik rakyat sedang menuju ke arah yang baru. Mungkin banyak yang diam-diam setuju. Salam awam saja. 


Ganding, 

7 Oktober 2024

NB : Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

Bagikan:

Komentar