|
Menu Close Menu

Dosen Psikologi UTM Ungkap Maraknya Kasus Kekerasan Pada Perempuan

Selasa, 10 Desember 2024 | 21.50 WIB

Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog sekaligus Kepala Unit Penunjang Akademik Bimbingan Konseling Universitas Trunojoyo Madura (UTM). 

Lensajatim.id, Bangkalan- Maraknya kekerasan seksual, fisik, dan psikis yang menimpa kaum perempuan, baik pelajar hingga mahasiswi di Indonesia, khususnya di Madura beberapa bulan terakhir ini mendapat respon dari berbagai pihak. 


Salah satunya respon itu juga datang dari Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog yang juga Kepala Unit Penunjang Akademik Bimbingan Konseling Universitas Trunojoyo Madura (UTM). 


Menurut perempuan yang akrab disapa Hera ini kekerasan pada kaum perempuan baik fisik, seksual dan juga ferbal memang marak dan bukan hanya di Madura, tapi menurutnya di Indonesia. 


Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada tahun 2024 kasus kekerasan tertinggi menimpa perempuan dengan usia remaja. Dan pelakunya kata Hera, rata-rata adalah teman atau pacar yang usianya tidak jauh berbeda dengan korban.


" Penyebabnya kalau menurut saya pertama dari faktor individu nya dari pelaku, ini lebih pada rendahnya moral, seperti kurangnya kepedulian atau respek dia kepada orang lain," jelas Hera saat dikonfirmasi media, Selasa (10/12/2024).


Kemudian berikutnya ketidaktahuan dia terhadap apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, atau fantasi seksual yang  memaksa karena terstimulasi dengan gambar dan video pornografi yang dengan mudahnya dia dapatkan dari internet. " Atau dia mungkin karena dia pengguna narkoba, atau juga mungkin sebelumnya pernah menjadi korban kejahatan seksual yang pada akhirnya sekarang menjadi pelaku," Beber Hera. 


Selain itu lanjut Hera adalah faktor keluarga. Kalau dicermati, faktor keluarga kalau dicermati yang diturunkan bukan hanya soal genetik." Ta bisa soal pola asuh, bagaimana keluarga itu memperlakukan anaknya, atau bagaimana anaknya  menyaksikan bagaimana bapaknya memperlakukan ibunya, bagaimana ibunya memperlakukan bapaknya, jadi adanya riwayat konflik atau kekerasan dalam keluarga, riwayat masa kecil yang mengalami pelecehan psikis,  seksual dan emosional. Lingkungan keluarga yang tidak mendukung  secara emosional, minim kasih sayang, hubungan orang tua dan anak yang buruk, khususnya mungkin dengan ayah," tandasnya. 


Kemudian juga faktor masyarakatnya. Dalam. Hal ini toleransi yang rendah terhadap pelecehan seksual dalam masyarakat. Termasuk lemahnya sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual itu sendiri. " Norma masyarakat yang mendukung ya, bahkan yang sering terjadi muncul persepsi melihat pelaku melakukan itu karena si korban seperti ini, jadi wajar ya. Norma-norma yang mungkin kita anggap salah atau tidak pada tempatnya. Nah norma masyarakat yang mendukung superioritas laki-laki," paparnya. 


Hera menjelaskan, kalau memaknai kekerasan dalam persepektif psikologi biasanya yang namanya  kekerasan itu sesuatu yang disengaja biasanya dilakukan adanya ancaman , adanya intimidasi dan lain sebagainya. Beberapa alasan mendasar untuk korban kenapa dia akhirnya dia kok mau saja meneruskan hubungan berpacaran atau hubungan relasi romantis yang sebenarnya tidak baik-baik saja dengan pacarnya, " ungkapnya dengan nada bertanya. 


Hera menjelaskan hal itu dikarenakan beberapa faktor menjadi alsan mendasar, misalnya bisa saja karena korban diliputi perasaan takut, malu, dan tidak tahu harus melapor kemana. Bisa saja mungkin muncul perasaan-perasaan bersalah. " Kondisi traumatis yang dialami korban membuat dia tidak mudah untuk bercerita, bahkan ada korban yang kenapa si kamu kok diam saja, padahal ini sudah lama, sudah tiga tahun. Nah ini gak mudah banget bagi orang-orang yang trauma untuk menceritakan hal-hal yang tidak menyenangkan pada dirinya, " ceritanya. 


" Kenapa tidak bercerita?, karena korban mempertimbangkan bagaimana respon masyarakat, respon keluarga saat tau kalau dia menjadi korban. Sebab terkadang justru banyak masyarakat menyalahkan korban, sehingga bukan empati yang didapat tapi justru cibiran yang membuat korban semakin terpuruk, " katanya. 


Muncul juga pertanyaan misalnya kenapa mereka bertahan, mau saja diperlakukan seperti itu, harusnya ngomong, harusnya lapor polisi. " Tidak semudah itu juga meskipun mereka tahu mereka berada dalam hubungan yang tidak sehat, mengalami kerugian baik psikis, mental dan material terutama untuk kekerasan yang melibatkan hubungan relasi romantis tadi di kalangan mahasiswa atau hubungan  pacaran," paparnya. 


Alasannya kata Hera, yang paling sering adalah bias kognitif, dalam psikologi yaitu kesalahan alam bawa sadar dalam berpikir, memproses dan menafsirkan informasi. Biasanya membuat seseorang  mengambil keputusan dengan emosi bukan logika. " Emosinya dinaikkan, logikanya di pres, sehingga mereka memilih tetap bertahan karena perasaan cinta yang mendalam atau ketakutan akan ditinggalkan dan biasanya mereka memiliki keyakinan yang keliru. Misal mereka berpikir mungkin kalau aku bertahan, pacarku akan kasihan, pacarku akan berubah, " jelasnya. 


Dengan begitu ia akhirnya memilih bertahan dan memaafkan, sehingga perilaku kekerasan ini terus berlanjut dan mereka terjebak dalam siklus harapan dan  kekecewaan yang tak berujung. " Apalagi kalau pacar atau pelakunya selalu merasionalisasi kan kalau saya melakukan kekerasan ini karena kamu, coba kalau kamu dengar omongan saya , gak mungkin lho saya mukul kamu,  coba kalau kamu selalu ngabarin saya, tidak mungkin saya se posesif ini sama kamu dan lain sebagainya. Begitulah yang sering terjadi," pungkasnya.  (Fiq/Had) 

Bagikan:

Komentar