|
Menu Close Menu

Webinar Cross-Cultural Education: Membangun Toleransi dan Empati di Dunia Pendidikan

Senin, 02 Juni 2025 | 15.04 WIB

Webinar dalam rangka Hari Lahir Pancasila oleh Himpunan Pendidik dan Pengajar Muda Indonesia (HIPPMI).(Dok/Istimewa). 
Lensajatim.id, Surabaya- Dalam momentum hari lahir Pancasila, Himpunan Pendidik dan Pengajar Muda Indonesia (HIPPMI) mengadakan webinar bertajuk Cross-Cultural Education: Membangun Toleransi dan Empati di Dunia Pendidikan Minggu, 01 Juni 2025 melalui zoom meeting yang diikuti oleh puluhan peserta.


Narasumber pertama yang juga merupakan Inisiator HIPPMI yakni Dr. Hardika Prayudi Styawan, M.Pd., M.M menyampaikan Pendidikan lintas budaya mengacu pada proses belajar mengajar dalam konteks keberagaman, di mana interaksi terjadi antar individu dari latar belakang budaya, bahasa, agama, dan nilai yang berbeda. 


"Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, pendidikan lintas budaya bukan hanya kebutuhan, tetapi sebuah keniscayaan. Keberagaman budaya bukan sekadar tampak dari pakaian atau logat bicara," ujarnya.


Lebih lanjut Dr Hardika menyebut keragaman budaya tercermin dalam cara berpikir, gaya belajar, hingga bagaimana seseorang menyikapi perbedaan atau menyelesaikan konflik. Jika tidak ada ruang untuk saling memahami, perbedaan ini bisa memicu kesalahpahaman dan bahkan gesekan sosial. 


"Di sinilah pentingnya pendidikan lintas budaya (cross-cultural education), sebuah pendekatan yang tidak hanya mengajarkan 

pengetahuan, tetapi juga membentuk sikap toleran dan empatik," sambungnya.


Sementara Narasumber kedua yang merupakan Pengajar Bahasa dan Budaya-Peace Corps Indonesia, Erick Firmansyah, S.Pd., M.Pd menjelaskan bahwa dalam menghadapi keragaman siswa di kelas, penting bagi pendidik untuk memahami dimensi budaya dan membantu guru menyadari bagaimana nilai-nilai budaya memengaruhi cara peserta didik berpikir, belajar, dan berinteraksi. 


"Pemahaman ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak berubah menjadi bias dan stereotip, yang kerap muncul tanpa disadari dan bisa melukai peserta didik secara halus (mikroagresi)," katanya.


Ia memaparkan pentingnya topik ini bagi pendidik adalah untuk menciptakan suasana belajar yang inklusif, adil, dan mendukung setiap peserta didik secara optimal. 


"Selain mengurangi konflik dan prasangka, pemahaman budaya dan penerapan keadilan membantu guru memfasilitasi pembelajaran yang lebih relevan, efektif, dan bermakna, sehingga setiap anak merasa dihargai dan mampu berkembang sesuai potensinya," pungkasnya. (Fiq) 

Bagikan:

Komentar