|
Menu Close Menu

Jelang Pergantian Tahun, Puguh Wiji Pamungkas Berharap Pemerintah Kaji Ulang Rencana Kenaikan PPN 12 %, Begini Alasannya

Selasa, 31 Desember 2024 | 11.20 WIB

 

Puguh Wiji Pamungkas, Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur. (Dok/Istimewa).

Lensajatim.id, Surabaya- Tanpa terasa perjalanan panjang 365 hari sepanjang 2024 telah meninggalkan kita semua. Ritual demokrasi yang terjadi sepanjang 2024 mulai dari pemilahan umum legislataif, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan di pungkasi pada november lalu dengan Pilkada serentak di 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.


Menurut Puguh Wiji Pamungkas, Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur dari Fraksi PKS, memasuki tahun 2025,  seluruh masyarakat Indonesia pasti berharap ada transformasi dan pertumbuhan dalam dirinya, dalam keluarganya, dalam masyarakatnya dan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Ditengah dinamika global yang terus dinamis akibat perang dibeberapa negara yang tidak kunjung usai, serta trend ekonomi makro dan mikro yang nampaknya kurang begitu bersahabat.


" Persitiwa pailitnya Sritex sebuah perusahaan textile  terbesar di Asia yang beberapa waktu lalu mengumumkan “pailitnya” dan ancaman PHK 50.000 lebih pegawainya, tentu menjadi salah satu potret betapa tantangan dunia usaha kedepan memang tidak gampang, " jelas Puguh, Selasa (31/12/2024). 


Terlebih, lanjut Presiden Nusantara Gilang Gemilang ini, pasca pemerintah menetapkan rencana kenaikan PPN 12% dan kenaikan UMP 6,5%, semakin menantang dunia usaha untuk lebih tangguh dan adaptif dalam menghadapi perubahan yang terjadi.


Puguh lalu menyebutkan berdasarkan rilis Indonesia Industry Outlook 2025 conferace menggambarkan secara tebal bahwa ada fenomena kemampuan daya beli kelas menengah yang semakin menurun, hal ini tentu akan berdampak pada sirkulasi ekonomi didunia industri dan dimasyarakat, karena tidak bisa dipungkiri “Aspiring middle class” dan “Middle Class” inilah yang menjadi salah satu penyumbang terbesar kegairahan perekonomian bangsa.


Berikutnya kata Puguh, sebuah survey yang dilakukan oleh inventure pada september 2024 lalu, menyajikan sebuah data, beberapa hal yang menurut masyarakat disegmen “middle class” menjadi penyebab terhadap turunnya daya beli, diantaranya adalah ; 85% menyebutkan karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok seperti makanan, energi dan transportasi, 52% menyebutkan karena biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal, 45% menyebutkan karena pendapatan yang stagnan, 37% menyebutkan karena meningkatnya PHK dan lapangan kerja yang terbatas, 31% menyebutkan karena meningkatnya pajak, 27% menyebutkan karena hutang yang semakin menumpuk dan 23% mneyebutkan karena kenaikan suku bunga cicilan.


" Tahun 2025 seolah menjadi akumulasi kompleksitas permasalahan sosial kemasyarakatan, disatu sisi ada fenomena tidak stabilnya dunia karena peperangan yang tidak kunjung usai, kebijakan pemerintah yang seolah tidak pro dengan dunia usaha, disatu sisi kemampuan daya beli masyarakat juga semakin turun," tandasnya. 


Puguh menyebut visi pemerintahan yang baru untuk pertumbuhan ekonomi 8% tentu patut di apresiasi, hasrat pemerintah untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem di bangsa ini juga layak diacungi jempol, namun memang kemampuan ekonomi di tengah masyarakat juga semestinya menjadi perhitungan yang matang bagi pemerintah. 


" Lantas tahun 2025 ini akan menjadi tahun untung atau buntung ?, tentu ini menjadi pertanyaan yang fundamental bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Ditengah lesunya dunia usaha karena “overheat” beban operasional dan melemahnya daya beli masyarakat, langkah-langkah efisiensi tentu akan dilakukan oleh dunia industri. Proses efisiensi ini tentu salah satunya bisa jadi akan terjadi gelombang PHK yang semakin besar, bebernya. 


Menurutnya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tentu juga menimbulkan masalah baru, karena secara definitif pekerja yang terdampak PHK tersebut sudah memiliki beban “daily cost” dalam kehidupannya, disatu sisi ia harus mencari peruntungan baru mendapatkan penghasilan, yang tentu hal tersebut bukan perkara yang gampang.


" Untung atau buntung di tahun 2025 sebenarnya kembali pada tiga aspek mendasar sosio ekonomi bangsa, yakni pemerintah sebagai pengampu kebijakan, dunia industri sebagai penggerak perekonomian dan masyarakat sebagai drivernya," ungkap Puguh. 


Puguh menilai, pemerintah mungkin perlu mengkaji kenaikan PPN 12%, meski dalam keterangannya kenaikan PPN tersebut tidak untuk semua bidang, namun mata rantai ekonomi itu saling terkait, baru tersiar kabar PPN akan naik saja, seluruh komoditas sudah naik dipasaran. Selain itu regulasi-regulasi pro rakyat mungkin harus banyak di produksi oleh pemerintah, 3.621,3 Triliyun APBN 2025 tentu seyogyanya digunakan untuk berfokus pada mensuport dunia usaha dan ekonomi masyarakat secara luas, agar perputaran ekonomi ditengah masyarakat bisa tergerak. 


" Regulasi pemerintah terkait dunia usaha seperti perijinan juga perlu dikuatkan dan dipermudah. Kemudahan akses perijinan, murahnya memulai usaha dan adanya jaminan kepastian hukum bagi pelaku usaha bisa menjadi triger awal bagi tumbuhnya iklim usaha di Indonesia," jelas Puguh. 


Masih kata Puguh, ditahun yang kurang bersahabat dan penuh tantangan, tentu dunia industri harus mampu beradaptasi dengan baik. Sekecil apapun peluang yang muncul harus dimanfaatkan dengan baik. Kuncinya ada pada kemampuan untuk membuka kesadaran diri, beradaptasi dan berinovasi. 


Bagi masyarakat, terutama “Aspiring middle class” dan “Middle Class”, kemampuan untuk menahan diri dan memanajemen keuangan dengan baik menjadi kunci agar bisa tetap survive. Mengalokasikan pengeluaran untuk hal-hal yang urgent, menjaga performance kinerja di perusahaan dengan yang terbaik, serta mulai berupaya untuk mencari tambahan revenue penghasilan dalam keseharian menjadi sesuatu yang sangat penting. " Mencari sebanyak-banyaknya sumber penghasilan dan pemasukan dengan skill dan kompetensi yang dimiliki mungkin perihal yang harus dilakukan," pungkasnya. (Had). 

Bagikan:

Komentar