Oleh: M. Haddadalwi Nasyafiallah
Lensajatim.id, Opini- Peringatan May Day atau Hari Buruh yang selalu diperingati pada tanggal 1 mei bukan sekedar seremoni tahunan, melainkan pengingat akan sejarah panjang perjuangan hak-hak buruh: dari tuntutan jam kerja yang manusiawi, upah layak, hingga jaminan keselamatan kerja.
Perjuangan kaum buruh yang menuntut akan keadilan upah, hak, martabat, jaminan perlindungan dan jaminan yang lainnya, merupakan mimpi mereka dimana pekerja bukan hanya identik dengan eksploitasi dan kelelahan saja.
Di tengah kemajuan teknologi dan transformasi industri, buruh menghadapi tantangan baru yang jauh berbeda dari dekade sebelumnya. Salah satunya adalah ketidakpastian kerja akibat sistem kerja kontrak, outsourcing, hingga maraknya kerja gig economy yang tidak memberikan jaminan sosial dan perlindungan hukum yang memadai. Digitalisasi memang membuka peluang baru, tetapi juga membuat posisi tawar buruh makin lemah jika tidak diimbangi dengan regulasi yang adil.
Selain itu, upah minimum yang kerap tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak masih menjadi persoalan utama. Banyak buruh harus bekerja lebih dari satu pekerjaan hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar. Belum lagi persoalan kesehatan kerja, jam kerja yang tidak manusiawi, dan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan yang melanggar aturan.
Di Banyuwangi, masih banyak dugaan pelanggaran-pelanggaran dan perjuangan hak kaum buruh yang masih sering terabaikan. Melansir Actanews.id Pada tanggal 12 maret 2025 lalu, PT. Lautindo Synergi Sejahtera, Perusahaan yang beroprasi di Desa Kedungiringin, Kecamatan Muncar, telah melakukan dugaa pemberangusan kepada serikat pekerja (union busting) yang dilakukan oleh pihak manajemen PT LSS. Akibat tindakan tersebut, sembilan anggota Serikat Buruh Perikanan Independen (SBPI) PT LSS mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diduga dilakukan secara sepihak oleh pihak PT. Lautindo Synergi Sejahtera.
Tindakan yang dilakukan oleh PT LSS telah melanggar aturan perundang-undangan pasal 28 undang-undang nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Selain dugaan tindakan pemberangusan serikat pekerja, pihak perusahaan juga memberikan upah dibawah upah minimun Kabupaten (UMK) Banyuwangi, upah lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan, jam kerja panjang tanpa kompensasi yang layak dan tidak diberikannya cuti haid dan cuti melahirkan bagi buruh perempuan.
Tidak hanya masalah di PT LSS, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga terjadi di perusahaan tambang emas PT. Bumi Sukses Indo (PT BSI). Pada tahun 2024 lalu, PT BSI melakukan PHK dengan jumlah fantastis yakni 150 karyawan, 80% persen diantaranya warga Desa Sumbergung, yang termasuk dalam Ring 1 area tambang PT BSI.
Tentu peristiwa tersebut harus menjadi perhatian serius oleh pihak pemerintah dan aparat penegak hukum dalam hal mengawasi dan menindak tegas pelaku industri atau perusahaan yang melakukan penyelewengan atau tidak sesuai dengan ketetapan yang berlaku.
PC PMII Banyuwangi dalam hal ini, mengecam dan mengutuk keras kepada palaku industri atau perusahaan yang melanggar aturan dan merugikan kaum buruh atau pekerja serta meminta pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan pengawasan kepada perusahaan-perusahaan yang ada di banyuwangi dan menindak tegas perusahaan yang melanggar aturan.
Penulis adalah Ketua PC PMII Banyuwangi*)
Komentar