|
Menu Close Menu

Komitmen untuk Adat, Willy Aditya Yakin RUU MHA Tuntas di Era Presiden Prabowo Subianto

Selasa, 22 Juli 2025 | 14.31 WIB

Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR RI saat menerima audiensi dari Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.(Dok/Istimewa).
Lensajatim.id, Jakarta- Upaya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) kembali mendapat sorotan tajam dari Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya. Dalam pertemuan dengan Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta di Kompleks Parlemen Senayan, Willy menegaskan bahwa RUU MHA bukan sekadar produk hukum biasa—tetapi bentuk nyata perlindungan ruang hidup bagi masyarakat adat di Indonesia.


"Saya optimis, sebagai mantan Ketua Panja sekaligus inisiator RUU MHA, di masa pemerintahan Pak Prabowo, insyaallah akan disahkan," ujar Willy penuh keyakinan, Senin (21/07/2025). 


Politikus Partai NasDem itu menegaskan bahwa kehadiran UU ini sangat penting untuk menyelamatkan eksistensi budaya, identitas, dan hak-hak masyarakat adat. Ia menyoroti data dari UNESCO yang menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan dua bahasa daerah setiap tahun—sebuah kehilangan budaya yang nyaris tak terdengar tapi sangat mendalam.


“Setiap enam bulan kita kehilangan satu bahasa daerah. Ini bukan hanya tentang konflik agraria atau tambang—ini soal ruang hidup. Tentang bagaimana masyarakat adat bisa tetap menjadi diri mereka di tanahnya sendiri,” tegasnya.


Willy juga mengungkap fakta mengejutkan tentang perjalanan RUU MHA yang penuh hambatan politik dan birokrasi. Pada periode 2014–2019, DPR sudah menuntaskan pembahasan. Namun, pemerintah hanya mengirimkan surat presiden (surpres) tanpa dilengkapi dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang wajib untuk proses legislasi.


“Surpres-nya ada, DIM-nya enggak ada. Itu sama saja seperti amplop kosong,” kritik Willy pedas.


Tak hanya itu, pada periode 2019–2024, meski sudah selesai di Badan Legislasi DPR, RUU ini tidak kunjung dibawa ke rapat paripurna oleh pimpinan DPR, sehingga kembali mandek di tengah jalan.


“Ingat, kita sistem presidensial. DPR memang pembuat undang-undang, tapi tak satu pun UU lahir tanpa persetujuan bersama pemerintah,” jelasnya kepada mahasiswa UII.


Willy pun mengajak publik, khususnya generasi muda, untuk lebih aktif mengawal proses legislasi RUU MHA. Ia menegaskan, tekanan kepada DPR perlu, namun desakan terhadap pemerintah agar serius dalam pembahasan juga sangat vital.


“Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal sejarah dan identitas bangsa. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” tutup Willy.


Dengan keyakinan tinggi, Willy Aditya berharap Presiden Prabowo Subianto dapat membawa RUU ini ke garis finish, sebagai wujud keberpihakan negara kepada masyarakat adat yang selama ini kerap terpinggirkan. (Had) 

Bagikan:

Komentar