![]() |
Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR RI.(Dok/Istimewa). |
“Tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan pembubaran ibadah. Terlebih jika disertai intimidasi dan persekusi. Itu jelas melanggar hak konstitusional,” tegas Willy di Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Politisi Partai NasDem tersebut mengingatkan, dalam negara hukum seperti Indonesia, setiap bentuk diskriminasi terhadap aktivitas keagamaan tidak bisa dibenarkan. Ia merujuk pada UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2 yang dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing.
“Founding parents kita membentuk negara hukum, bukan negara kekuasaan atau negara mayoritas. Jadi selama hak warga dijamin oleh konstitusi, negara wajib hadir untuk melindungi, bukan tunduk pada tekanan,” ujarnya.
Menurut Willy, toleransi antarumat beragama tidak cukup hanya menjadi slogan. Toleransi harus diterjemahkan dalam kebijakan nyata, tindakan aparat, serta tercermin dalam ruang publik.
“Kerukunan tidak lahir dari pembatasan, tapi dari saling menjaga dan menghormati. Kalau kita benar-benar mengamalkan Pancasila, maka hidup dalam keberagaman adalah jati diri bangsa ini,” jelasnya.
Willy juga menyinggung pentingnya peran forum-forum seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Namun ia menekankan, forum seperti itu tidak boleh sekadar menjadi simbol formalitas mayoritas.
“FKUB dan forum sejenisnya harus menjadi ruang dialog yang jujur dan setara. Bukan menjadi alat legitimasi sepihak. Jangan sampai ada warga negara yang merasa jadi tamu di negerinya sendiri,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia meminta aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap segala bentuk intoleransi yang terjadi di masyarakat. Negara, kata dia, harus hadir melalui penegakan hukum yang adil dan tidak pilih kasih.
“Penegakan hukum yang tebang pilih justru membuka ruang lebar bagi intoleransi. Negara harus berpihak pada keadilan, bukan pada tekanan,” tandasnya.
Pernyataan Willy muncul merespons sejumlah insiden intoleransi baru-baru ini. Salah satunya adalah perusakan rumah yang digunakan sebagai lokasi retret keagamaan di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Dalam video yang viral, terlihat sekelompok orang merusak rumah tersebut dan menurunkan simbol salib secara paksa.
Polisi telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Mereka dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama dan Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang.
Kasus serupa juga terjadi di Depok, Jawa Barat, di mana sekelompok warga menolak pembangunan rumah ibadah karena merasa tidak mendapat sosialisasi.
Willy menegaskan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama untuk merasa aman dan bebas menjalankan keyakinannya, bahkan di lingkungan yang berbeda.
“Semua pihak harus memperkuat semangat kebangsaan dan persaudaraan. Dialog adalah jalan terbaik. Bukan kekerasan atau paksaan,” pungkasnya. (Redaksi)
Komentar