![]() |
Ning Lia, Anggota DPD RI asal Jawa Timur.(Dok/Istimewa). |
Dalam salah satu segmennya, program tersebut menayangkan narasi yang dianggap merendahkan kehidupan pesantren dan para santri. Narator menyebut, “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?” serta komentar lain yang menyinggung soal kiai dan amplop.
Unggahan itu sontak menuai gelombang kemarahan warganet. Banyak yang menilai penyajian konten Trans7 tidak beretika, jauh dari prinsip jurnalisme, dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik tentang dunia pesantren.
“Acara pemberitaan sampah kaya gini emang cara yang paling mudah dan murah. Tanpa riset, tanpa wawancara, hanya menebar opini dangkal,” tulis salah satu pengguna platform X dengan nada kesal.
Kecaman juga datang dari dua tokoh perempuan Jawa Timur, yakni Senator DPD RI Komite III, Dr. Lia Istifhama, dan Ketua KPID Jawa Timur, Royin Fauziana.
Lia Istifhama menyoroti pelanggaran prinsip penyiaran sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ia mengingatkan, media memiliki fungsi mulia sebagai sarana informasi, pendidikan, dan perekat sosial.
“Jangan sampai fungsi penyiaran dialihkan menjadi sumber provokasi. Jika hanya mengejar viral, maka cepat atau lambat akan berujung fatal,” ujar Lia, Selasa (14/10).
Ia juga mengimbau agar semua pihak tidak terjebak pada provokasi tanpa memahami konteks sebenarnya. “Menahan diri dan memahami masalah secara utuh jauh lebih mulia daripada berbicara hanya untuk mencari popularitas,” tegasnya.
Lia yang akrab disapa Ning Lia itu turut menyinggung pentingnya memahami budaya pesantren sebelum memberi komentar. “Budaya nyantri itu sarat makna dan nilai sosial tinggi. Kalau tidak pernah mengalami, sebaiknya riset dulu. Jangan asal ngomong demi viral,” tambahnya.
Ning Lia mengaku pernah nyantri saat SMA. Ia mengisahkan pengalaman indahnya selama di pondok, mulai dari makan bersama hingga kerja bakti (ro’an) setiap akhir pekan. “Tradisi itu membentuk kebersamaan dan disiplin. Kalau tak memahami secara utuh, mudah salah tafsir,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua KPID Jawa Timur, Royin Fauziana, menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima sejumlah laporan dari masyarakat dan tokoh pesantren di berbagai daerah terkait tayangan Trans7 tersebut.
“Kami menilai ada indikasi pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), khususnya dalam penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan keberagaman,” jelas Royin.
Menurutnya, penyiaran harus menjadi sarana memperkuat toleransi, bukan justru menimbulkan stigma negatif terhadap kelompok tertentu. “Narasi yang mengarah pada generalisasi dan stereotip jelas bertentangan dengan semangat kebinekaan bangsa,” tegasnya.
KPID Jatim, lanjut Royin, akan meneruskan laporan masyarakat ke KPI Pusat serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk memperkuat literasi penyiaran, terutama dalam konten keagamaan dan sosial-budaya.
Menanggapi gelombang kritik tersebut, Production Director Trans7, Andi Chairil, akhirnya menyampaikan permohonan maaf atas tayangan Xpose Uncensored. Ia mengakui adanya kelalaian dalam pengawasan konten yang dinilai merendahkan martabat kiai dan lembaga pesantren.
Publik pun berharap permintaan maaf itu menjadi pelajaran penting bagi industri penyiaran agar lebih berhati-hati dan menghormati nilai-nilai luhur dalam masyarakat. (Had)
Komentar