![]() |
| Tiga Dosen Muda UT Surabaya saat berkunjung ke Kampung Gerabah, Lamongan.(Dok/Istimewa). |
Ketiga dosen tersebut adalah Sucipto (dosen pariwisata), Berlina Hidayati (dosen pajak), dan Tiara Sevi Nurmanita (dosen PGSD). Mereka turun langsung menyusuri rumah-rumah produksi gerabah untuk melihat kondisi riil para pengrajin, alur kerja, hingga potensi pengembangan desa sebagai pusat ekonomi kreatif.
Selama observasi, tim melihat proses pembuatan gerabah yang masih sangat tradisional, mulai dari pemilahan tanah liat, pencampuran, pembentukan, pengeringan, hingga pembakaran di tungku manual. Metode yang digunakan memerlukan ketelitian tinggi sekaligus tenaga besar.
Dalam dialog bersama para pengrajin, muncul fakta bahwa salah satu hambatan utama adalah proses penghalusan tanah yang membutuhkan waktu lama karena tidak adanya mesin pengolah tanah liat. Keterbatasan ini membuat kualitas dan kuantitas produksi sulit meningkat.
“Mesin penghalus tanah liat akan sangat membantu kami. Tanpa itu, prosesnya lama dan tenaganya besar sekali,” ujar salah seorang pengrajin.
Selain hambatan teknis, tim dosen UT Surabaya menemukan persoalan yang tak kalah mendesak: minimnya regenerasi pengrajin. Sebagian besar perajin aktif kini berusia lanjut, sementara anak muda desa lebih memilih merantau ke kota besar.
Kondisi ini membuat keberlanjutan tradisi gerabah berada dalam titik kritis. Tanpa strategi pemberdayaan dan edukasi bagi generasi penerus, tradisi yang telah berlangsung turun-temurun ini dikhawatirkan perlahan menghilang.
Melihat peluang sekaligus tantangan tersebut, tim dosen UT Surabaya merancang konsep pendampingan komprehensif untuk tahun 2026. Rencana program tidak hanya menyediakan fasilitas produksi seperti mesin penghalus tanah liat, tetapi juga mencakup: pelatihan pemasaran digital, inovasi desain produk, strategi branding berbasis kearifan lokal, dan pengembangan wisata edukasi berbasis kerajinan gerabah.
Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah, memperluas pasar, serta menarik kembali minat generasi muda terhadap kerajinan asli desa.
Kunjungan ini menjadi titik awal penguatan jembatan antara dunia akademik dan masyarakat desa. Dosen UT Surabaya berharap pendampingan berkelanjutan dapat menjadikan Kampung Gerabah Desa Gampang Sejati bukan hanya sebagai sentra kerajinan tradisional, tetapi juga sebagai ikon ekonomi kreatif Lamongan yang modern tanpa meninggalkan identitas budaya.
“Tradisi gerabah adalah warisan berharga. Dengan inovasi dan kolaborasi, desa ini dapat berkembang, sekaligus meningkatkan kesejahteraan warganya,” kata salah satu anggota tim.
Program pengabdian tahun 2026 diharapkan menjadi momentum penting untuk menyelamatkan tradisi, memperkuat ekonomi lokal, dan membangun masa depan yang lebih berdaya bagi para pengrajin gerabah Lamongan. (Had)


Komentar