![]() |
| Program Kolaboratif BEM Unesa dan Kelompok Tani Ternak Sumbersari di Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan.(Dok/Istimewa). |
Namun sebuah program kolaboratif yang digagas BEM Universitas Negeri Surabaya (UNESA) bersama Kelompok Tani Ternak Sumber Rejeki di Sambeng menawarkan pendekatan baru dalam sebuah program Pengabdian Kepada Masyarakat yang didukung penuh oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Berbasis ekonomi sirkular, program ini memperkenalkan inovasi teknologi yang mampu mengubah limbah menjadi nilai tambah, sekaligus mengintegrasikan peran peternak dan pemuda desa dalam satu ekosistem produktif yang saling menguntungkan.
Artikel ini mencoba mengulas lebih dalam bagaimana implementasi ekonomi sirkular tersebut dapat menjadi jalan baru bagi desa menuju kemandirian pangan dan peningkatan kesejahteraan.
Limbah: Beban atau Peluang Ekonomi?
Selama bertahun-tahun, limbah pertanian dan peternakan di Sumbersari dipandang sebagai persoalan, bukan potensi. Jerami, bonggol jagung, dan ilalang dibiarkan membusuk tanpa pemanfaatan lebih lanjut. Kotoran ternak, yang jumlahnya mencapai ton per bulan, seringkali hanya ditumpuk di balik kandang hingga mencemari lingkungan.
Padahal, dalam pendekatan ekonomi sirkular, limbah justru menjadi titik awal siklus produksi baru. Jerami dan bonggol jagung merupakan bahan baku pakan ternak fermentatif. Sedangkan kotoran ternak adalah komoditas pupuk organik bernilai jual tinggi. Lalu, limbah hijauan dapat menjadi dasar unit usaha baru berbasis pakan ternak lokal.
Persoalannya hanya satu: tidak ada teknologi dan pengetahuan yang memungkinkan masyarakat mengolah limbah tersebut secara efisien. Di titik inilah kolaborasi perguruan tinggi memainkan peran penting.
Inovasi Teknologi: Mesin Lokal untuk Transformasi Lokal
Program ini memperkenalkan tiga inovasi yang dirancang untuk skala desa dan dapat dioperasikan masyarakat, yaitu mesin pengolah pupuk 3-in-1, mesin pencacah serbaguna double input, dan SINBIONESA.
Mesin mesin pengolah pupuk 3-in-1 adalah "pabrik mini" yang mampu mengangkut, menghancurkan, sekaligus mengayak kotoran ternak dalam satu alur terpadu. Dengan kapasitas mencapai 300 kilogram per jam, mesin ini memotong biaya tenaga kerja dan mempersingkat proses produksi pupuk hingga 70%. Hasilnya, peternak dapat menghasilkan pupuk organik siap kemas dalam waktu jauh lebih cepat, dengan kualitas yang lebih seragam.
Selanjutnya adalah mesin pencacah serbaguna double input yang dapat menjawab persoalan besar peternak: tingginya biaya pakan. Dengan kemampuan mencacah limbah pertanian, mesin ini menyediakan bahan pakan alternatif yang murah, terjangkau, dan berkelanjutan. Ini bukan hanya solusi teknis, tetapi juga solusi ekonomi: desa dapat memproduksi pakan mandiri tanpa ketergantungan pada industri besar.
Selain mesin, ada produk ini SINBIONESA yang merupakan feed additive yang dikembangkan oleh peneliti UNESA, Prof. Dr. Isnawati, dan telah mendapatkan hak paten. Fungsinya meningkatkan pertumbuhan vegetatif ruminansia, sehingga ternak menjadi lebih sehat dan bernilai jual lebih tinggi.
Tiga inovasi ini membentuk fondasi sebuah ekosistem baru di Desa Sumbersari, yaitu ekosistem yang mengubah limbah menjadi komoditas bernilai.
Kekuatan Kolaborasi: Peternak Berpengalaman dan Pemuda Berpotensi
Keberhasilan ekonomi sirkular tidak hanya bergantung pada teknologi, melainkan juga pada aktor yang menggerakkannya. Program ini secara strategis melibatkan dua kelompok masyarakat dengan karakter berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok tani ternak “Sumber Rejeki” dan kelompok kedua adalah Karang Taruna Desa Sumbersari.
Kelompok tani ternak “Sumber Rejeki” merupakan kelompok tani yang berpengalaman. Mereka menjadi pusat produksi pupuk dan pakan hasil olahan mesin. Namun sebelumnya mereka menghadapi keterbatasan peralatan dan manajemen. Sedangkan pemuda desa memiliki energi, kreativitas, kemampuan digital, tetapi belum memiliki ruang untuk berkegiatan ekonomi. Melalui program ini keduanya digabungkan. Unesa dan peternak menjadi mentor teknis, sementara Karang Taruna menjadi motor penggerak inovasi, seperti pengoperasian mesin, pemasaran digital, hingga pengembangan eduwisata bertema pertanian-peternakan.
Model integrasi antar generasi ini menjawab tantangan klasik desa, yaitu regenerasi petani sekaligus penciptaan lapangan kerja berbasis inovasi.
Penulis: Lutfi Saksono, Muamar Zainul Arif, Farih Fahmi


Komentar