|
Menu Close Menu

Kalam Gus Dur untuk Indonesia

Kamis, 24 Desember 2020 | 11.24 WIB

 


Oleh Moch Eksan


Semenjak Gus Dur wafat 31 Desember 2009, Desember acapkali disebut "Bulan Gus Dur". Jaringan Gus Durian biasanya menghelat berbagai acara untuk mengenang sosok, fikiran dan tindakannya bagi umat, bangsa dan dunia. 


Perhelatan Hari Natal, setiap 25 Desember, yang berskala global dan dalam sepanjang sejarah dunia, juga tak bisa lepas dari sosok Gus Dur. Beliau memang tokoh Islam namun beliau inisiator pembantuan Banser dalam pengamanan perayaan Hari Natal di Indonesia sampai sekarang.


Umat kristiani di seluruh Tanah Air, tak pernah bisa lupa terhadap pengorbanan Riyanto, anggota Banser, menemui ajal saat membantu pengamanan Gereja Eben Haezer Mojokerto. Lelaki kelahiran 19 Oktober 1975 tersebut tewas terkena ledakan bom untuk menyelamatkan jemaah pada malam 24 Desember 2000.


Pengorbanan Riyanto tentu berkat suntikan moral dari falsafah kalam Gus Dur. Sebuah jalan perjuangan yang terlahir dari jiwanya yang tenang (nafsul-muthmainah), penuh kerelaan (ridha), dan kedamaian bagi seluruh anak bangsa, tanpa terkecuali.


*Latar Kalam*


Maraknya kasus ledakan bom natal di beberapa gereja di Tanah Air, yang mendorong Gus Dur memperbantukan Banser NU dalam pengamanan natal. Tentu keterlibatan Banser NU, memiliki spektrum tersendiri terhadap pola hubungan antar umat beragama di Indonesia. 


Ledakan bom natal yang dikaitkan dengan sekelompok umat Islam, tak merepresentasikan pandangan dan perasaan seluruh umat Islam. NU sebagai organisasi terbesar Islam malah memposisikan diri sebagai pelindung dan pengayom bagi umat minoritas.


Gus Dur memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap hajatan tahunan ini. Sudah lebih dua dekade, Banser NU selalu membantu aparat kepolisian tanpa pernah absen. Ini menjadi "simbol" kerukunan antar umat beragama, antara Islam dan Kristen khususnya, dan antar umat beragama umumnya. Ini juga memberikan pesan damai bagi dunia yang tertimpa konflik berdarah berlatar perbedaan agama dan aliran dalam agama.


Hasil survey LSI yang dilansir 23 Desember 2012, menempatkan Gus Dur sebagai presiden yang paling toleran dalam keberagaman agama dibandingkan dengan presiden-presiden lain. Hal ini tak lepas dari pemikiran, sikap dan tindakan Gus Dur itu sendiri dalam melindungi kaum minoritas. 


Islam Gus Dur adalah Islam damai yang senantiasa menampilkan misi rahmatan lil 'alamin bagi sesama. Perbedaan agama dan aliran dalam agama tak lantas menghalalkan penumpahan darah atas nama jihad fi sabilillah. Justru perbedaan tersebut mendorong kerjasama yang produktif dalam mewujudkan perdamaian dunia.


Peran dan kiprah Gus Dur dalam sepanjang hayatnya menjadi "teks" bagi Islam, Indonesia dan dunia. Bahwasannya, Islam menjadi "pelopor" dan "obor" perdamaian dunia. Rasa aman dan nyaman bagi umat kristiani dalam merayakan natal, adalah manifestasi kerjasama produktif antar Banser NU, jemaat gereja dan aparat keamanan. Potret langka ini menjadi sumber aspirasi dan inspirasi bagi umat lintas agama dalam membina kehidupan bersama yang aman dan damai.


*Modal Sosial Perdamaian*


Dalam konteks ini, Gus Dur sangatlah layak menerima penghargaan "nobel perdamian dunia" atas jasa-jasanya dalam memajukan kerukunan umat beragama di Indonesia. Kerukunan umat beragama merupakan modal sosial bagi perdamian dunia. Mengapa?


Pertama, kerukunan umat Islam dan Kristen di dunia memberikan sumbangsih lebih 2/3 kerukunan dunia. Mengingat, jumlah umat antara dua agama serumpun ini sangat besar. Berdasarkan survey Pew Research Centre 2010, lembaga kajian yang berkantor di Washington, Amerika Serikat, 1/3 penduduk dunia pengikut Nabi Isa AS, sedangkan 1/4 penduduk dunia yang lain pengikut Nabi Muhammad SAW.


Kedua, kerukunan umat Islam dan Kristen menurunkan ketegangan kawasan di berbagai belahan konflik di dunia. Islam Yahudi di Palestina, Islam Hindu di Kashmir, Islam Budha di Rohingya, dan lain sebagainya yang terlibat konflk menahun, diredakan oleh pesan perayaan natal di Indonesia yang mendapatkan pengawalan dari Banser NU.


Ketiga, kerukunan umat Islam dan Kristen telah menetralisir potensi konflik laten yang menyejarah dalam perang salib. Dalam catatan Wikipedia, terdiri dari Perang Salib Pertama, Perang Salib Rakyat, Perang Salib Jerman 1096, Perang Salib 1101, Perang Salib Kedua, Perang Salib Ketiga, Perang Salib Keempat, Perang Salib Albigensian, Perang Salib Anak-anak, Perang Salib Kelima, Perang Salib Keenam, Perang Salib Ketujuh, Perang Salib Gembala, Perang Salib Kedelapan, Perang Salib Kesembilan, Perang Salib Utara. Pasukan salib dibentuk oleh Paus Urban II pada 1095, dan pasukan salib ini baru dibubarkan olen Napoleon Bonaparte pada 1798. Perang salib ini berlangsung tiga abad, sejak abad ke-11 sampai abad ke-13. Banyak korban kemanusiaan berjatuhan dari pihak umat Islam maupun umat Kristen, dalam perang suci demi merebut kota suci, Yarussalem, satu kota tiga Tuhan, Yahudi, Kristen dan Islam ini. Perayaan Natal di Indonesia jelas resolusi damai bagi dunia.


Keempat, kerukunan umat Islam dan Kristen telah menyumbangkan 90 persen lebih persatuan dan kesatuan nasional dalam bingkai NKRI. Forum lintas agama yang dirajut oleh Gus Dur dengan berbagai tokoh lintas agama lain, telah berhasil menyemai kesepahaman dan kebersamaan dalam membangun moralitas bangsa. 


Agama-agama menjadi spirit dalam memecahkan problematika kebangsaan, mulai dari terorisme, separatisme, kerusakan lingkungan, krisis moral, sampai dengan korupsi. Bangsa ini ambruk atau tegak bergantung pada moralitas bangsa yang bersendikan nilai-nilai agama yang universal.


*Eksternalisasi Humanisme*


Tegasnya, dalam teori kontruksi sosial Peter Berger dan Thomas Luckman, keterlibatan Banser NU dalam pengamanan natal merupakan "eksternalisasi" dari falsafah kalam dan kebangsaan Gus Dur. Bahwa, umat Islam sebagai umat mayoritas harus "mengasihi" umat minoritas, sedangkan, umat minoritas harus "menghormati" umat mayoritas. Disamping, sebagai ikhtiar untuk menutup celah munculnya kecenderungan diktator mayoritas dan tirani minoritas.


Gus Dur telah mengajarkan humanisme sejati. Yang memandang manusia sebagai manusia, yang sejatinya bersaudara walaupun berbeda agama, suku, budaya dan bahasa. Sebuah pemikiran yang terlahir dari tassawuf falsafi ala Erich Fromm. Yaitu: "Barangsiapa yang berdamai dengan Tuhan, maka ia akan berdamai dengan sesama, dan juga berdamai dengan alam". Semoga!


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Istitute

Bagikan:

Komentar