|
Menu Close Menu

Kecelakaan dan Human Error

Senin, 11 Januari 2021 | 15.28 WIB

 


Oleh : Moch Eksan


Tak seorang pun menginginkan kecelakaan. Pasti, semua ingin perjalanan dinas, bisnis dan belajar berlansung lancar dan selamat. Di atas pelayanan, keselamatan adalah hal utama bagi jasa pelayanan transportasi darat, laut maupun udara.


Baru setelah itu, orang mencari kenyamanan, kecepatan dan ketepatan waktu tiba. Untuk itu, orang tak soal bila harus membayar lebih mahal. Kata pakar Service Science Theory, ada harga, maka ada more services (pelayanan lebih).


Semenjak 2014-2019, saya pengguna jasa transportasi udara dengan jadwal penerbangan yang relatif full. Dalam seminggu, tak kurang dari 2 kali di dalam atau antar propinsi Indonesia. Dan, 7 kali penerbangan keluar negeri: Prancis, Amerika, Jerman, Australia, Saudi Arabia, Jepang dan Norwegia. Semua jadwal penerbangan itu lebih banyak merupakan perjalanan dinas sebagai anggota DPRD Jawa Timur waktu itu.


Saya yakin, banyak pengguna jasa transportasi udara yang lain, jadwalnya lebih full dari saya. Semua pasti menjadi saksi, betapa industri jasa penerbangan di Tanah Air tumbuh sangat pesat. Setiap tahun, muncul rute pernerbangan baru dan penambahan jadwal penerbangan pada rute yang lama. Bandara tempat paling sibuk dan penuh dengan kepadatan aktifitas manusia. Bandara pada jam tertentu melebihi keramaian pasar tradisional sekalipun.


Kendati, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah kecelakaan pesawat terbanyak nomor 8 di dunia, di bawah Amerika Serikat, Rusia, Brazil, Kolombia, Kanada, Inggris, dan Prancis. Statista merilis pada 16 Agustus 2018, sejak 1945, terdapat 98 kasus kecelakaan pesawat di Indonesia. Namun demikian, pertumbuhan angka penumpang pesawat relatif tinggi. BPS menyebutkan, di 5 bandara utama, yaitu: Polonia, Soekarno Hatta, Juanda, Ngurah Rai, dan Hasanuddin, semenjak 2015-2019, jumlah penumpang domistik meningkat di atas 6,6 persen sampai 19,2 persen year on year.


Sebagai ilustrasi 2 bandara internasional, Soekarno Hatta dan Juanda, 5 tahun terakhir. Berdasarkan data BPS, di Soekarno hatta, pada 2015, tercatat 19.188.850 penumpang domistik; 2016 20.575.982; 2017 22.931.200; 2018 22.600.428, dan pada 2019, tercatat 19.265.062 penumpang domistik. Jadi, selama 5 tahun, jumlah penumpang domistik 103.562.622 orang. Rerata, orang yang terbang melalui Soekarno Hatta sebanyak 20 juta lebih, dengan kenaikan jumlah penumpang 6,6 persen per tahun. 


Juanda pada 2015, terhitung 6.917.697 penumpang domistik; 2016 8.019.632; 2017 7.924.402; 2018 8.167.148, dan pada 2019,  terhitung 6.288.592 penumpang domistik. Jadi, selama 5 tahun,  jumlah penumpang domistik 37.417.469 orang. Rerata orang terbang melalui Juanda sebanyak 7 juta lebih, dengan kenaikan jumlah penumpang 19,2 persen per tahun.


Dari berbagai data di atas, terungkap bahwa di Soekarno Hatta, ada tambahan 1.353.813 penumpang domistik baru. Sedangkan di Juanda, ada tambahan 1.379.230 penumpang domistik baru pula. Ini artinya, minat masyarakat terhadap jasa transportasi udara dari tahun ke tahun meningkat, meskipun di beberapa tahun terakhir ini terjadi beberapa kali kecelakaan pesawat.


Semisal pada 28 Desember 2014, terjadi kecelakaan pesawat Air Asia QZ8507 Surabaya-Singapura yang menewaskan 162 korban jiwa, pada 3 Agustus 2017, tabrakan sayap antar pesawat Wings Air dan Lion Air di Bandara Internasional Kualanamu tanpa korban, dan pada 29 Oktober 2018, kecelakaan pesawat Lion Air JT610 Jakarta Pangkal Pinang yang menewaskan 189 korban jiwa.


Namun sangat disayangkan, pertumbuhan minat masyarakat terhadap penerbangan sipil, kurang dibarengi dengan perbaikan kualitas pelayanan dari industri jasa penerbangan Indonesia, akhirnya kecelakan semisal terjadi kembali awal tahun 2021, di era Pandemi Covid-19. 


Pada Sabtu, 9 Januari 2021, kecelakan pesawat Sriwijaya Air SJ182 Jakarta-Pontianak menewaskan 62 korban jiwa. Di antaranya, yunior saya di HMI, Dinda Mulyadi P Tamsir, Ketua Umum PBHMI (2016-2018), yang pernah bertandang ke Pesantren Mahasiswa Nurul Islam 2,  waktu mengisi LK 2 HMI Cabang Jember, dan waktu saya masih tinggal disana. Kecelakaan ini membuat mendung duka di atas langit Indonesia, dan juga HMI berduka di seluruh Tanah Air.


Setiap kecelakaan apapun, selain faktor alam dan tehnis, dan yang paling utama adalah faktor human error (kesalahan manusia). Faktor yang terakhir yang mesti menjadi perhatian bersama, agar musibah yang sama tak terjadi kembali. Sebab, dampak kerugiannya sangat besar, bagi diri sendiri, penumpang dan dunia penerbangan Indonesia. 


Aviation Safety Network, menyebutkan penerbangan sipil di negeri ini terburuk di Asia. Ini lantaran sudah 104 kecelakaan pesawat sejak 1945 sampai sekarang, yang memperburuk wajah industri dirgantara Indonesia.


Memang, soal mati soal takdir. Kecelakaan hanya sebab dari mekanisme takdir dari Dzat Yang Menghidupkan dan Mematikan. Tatkala ajal tiba, tak seorang pun mampu memajukan atau memundurkannya. Walau sesaat sekalipun. Banyak orang berseloroh, orang yang mati di atas kasur lebih banyak daripada yang mati di atas pesawat. 


Akan tetapi, manusia dianugerahi akal supaya berfikir atas berbagai musibah. Human error bisa dikurangi, dengan meningkatkan ilmu dan keterampilan penerbangan, serta manajemen penerbangan sipil yang ramah bencana. Dengan demikian, dunia digantara kita akan tetap berjaya di udara. Amien.


Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar