|
Menu Close Menu

Doktor Ulum, Qaul Syadz dan Bahaya Bagi Anak

Selasa, 20 April 2021 | 09.56 WIB



Oleh : Aida Lutfiah, M.Pd


Sebagai seorang wanita sekaligus ibu, saya cukup gregetan dengan tulisan doktor Ulum dengan judul "Cabul, antara Amoral dan "Hitam Putih Kehidupan", Radar Jember, 17 April 2021 yang tersebar di berbagai whattshap group. Saya pun penasaran dengan dosen satu ini. 


Dari hasil browsing, muncul nama Dr Miftahul Ulum MSi MSy MH, adalah dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) KH Achmad Shiddiq. Dalam Scolar.google.co.id, ia disebut punya latar belakang keilmuan dan keahlian di bidang Islamic Studies (Studi Islam), Islamic Economics Law (Hukum Ekonomi Islam) dan Law (Hukum).


Dosen kelahiran Sampang, 14 Mei 1982 ini adalah seorang penulis produktif. ia sudah mempublikasikan tak kurang 33 artikel. Semua tak lepas dari latar keahlian bidang Studi Islam, Hukum Ekonomi Islam, dan Hukum di atas. Termasuk artikel berjudul "Supremasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia".


Artikel yang dimuat di Jurnal Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam 2019, ditulis bersama Wildani Hefni. Sebuah artikel yang mengungkapkan bahwa peradilan anak tak memiliki regulasi yang jelas. Tindak pidana remaja hanya menjamin civil law ketimbang keadilan substansial. Aparat penegak hukum, penyidik, jaksa, penuntut umum, hakim, advokat dan pelaksana keputusan pidana, belum memiliki persamaan persepsi dan kesamaan paradigma dalam proses penegakan hukum.


Nampak jelas, peta jalan pemikiran doktor Ulum terhadap anak dan hukum yang berkaitan dengannya. Bahwa tindak pidana anak lebih menonjolkan paradigma keadilan dalam aspek yuridis normatif daripada yuridis sosiologis. Pandangan ini juga terlihat bias dari tulisan opini dalam menyikapi kasus pelecehan seksual RH terhadap keponakannya sendiri.


Doktor Ulum menyatakan: “Nila setitik rusak susu sebelanga”, begitulah kira-kira kata pepatah bijak yang pas untuk menggambarkan dan mengenang sisi baik “sang paman”. 


"Dalam petikan berita disebutkan bahwa anak di bawah umur yang mengaku dilecehkan tersebut adalah tinggal serumah dengan pelaku. Artinya, setiap hari, makan, minum, dan tidur dengan fasilitas gratis di rumah pak dosen", lanjut doktor Ulum dalam tulisannya.


Saya melihat pemikiran doktor Ulum ini penganut Qaul Syadz meminjam istilah dalam Qawaidul Luqhah. Ini nampak dari pernyataan berikut ini:


"Kalau dipikir secara jernih, tak sebanding antara “pijitan cinta” sang dosen dengan ganjaran pidana yang sudah menghantui hari-harinya yang seakan melaju searah putaran bumi. Lalu, adakah air susu akan berubah menjadi air tuba akibat dosen “salah asuh”?"


Sulit dibantah, ternyata doktor Ulum melawan Qaul mu'tamad yang dianut oleh publik. Dari sisi yuridis dan sosiologis, tindakan RH meraba payudara ponakannya hingga dua kali, dengan alasan terapi sekalipun, merupakan tindakan pelecehan seksual. Apalagi, korban merasa kondisinya baik-baik saja.Tindakan paman atas ponakan menyebabkan gangguan psikologi untuk tumbuh kembang si anak berusia 16 tahun tersebut.


Tindakan ibu korban melaporkan kasus pelecehan seksual pada Aparat Penegak Hukum (APH), bukti bahwa korban dan keluarga korban benar-benar merasa dilecehkan. Sebagai orang yang memiliki hubungan keluarga alih-alih melindungi, malah membahayakan masa depan si anak.


Pelecahan seksual terhadap anak di bawah umur bukan 'tipiring" (tindak pidana ringan) dengan ancaman hukum penjara 3 bulan dan atau denda Rp. 7.500, akan tetapi diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan/atau denda paling banyak 300 juta dan paling sedikit 60 juta sebagaimana ketentuan Pasal 82 Undang-undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.


Oleh karena maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur pada 2016, Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) untuk memberikan sanksi lebih berat. Maka, bunyi Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas berubah sebagaimana Undang-undang Nomor 17/2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.


Bahwasanya bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dikenakan sanksi ancaman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 

15 tahun, dan/atau denda Rp 5 miliar. Bila pelakunya orang tua, wali, orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, atau aparat yang menangani perlindungan anak, maka ketentuan pidana tersebut ditambah 1/3 (sepertiga) ancaman sebelumnya.


Selain itu, pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur masih ditambah dengan sanksi sosial berupa pengumuman identitas pelaku pada publik. Juga, tambahan sanksi rehabilitasi dan pemasangan alat deteksi elektronik.


Alhasil, pemerintah sungguh-sungguh ingin melindung anak dari tindakan diskriminatif dan kekerasan seksual. Pemerintah berpandangan bahwa  kehidupan anak Indonesia di bawah bayang-bayang predator seks dan perilaku seks menyimpang. Peningkatan sanksi pidana, sosial dan elektronik terhadap pelaku merupakan wujud komitmen seluruh elemen anak bangsa untuk menyelamatkan seluruh anak negeri dari potensi ancaman yang membahayakan jiwa anak, lingkungan hidup anak, tumbuh kembang anak, kenyamanan, keamanan, ketenangan dan ketertiban masyarakat.


Dari uraian di atas, pemikiran doktor Ulum sangat jelas subyektif dan membahayakan ikhtiar semua pihak untuk melindungi anak secara total. Kalimat demi kalimatnya sarat dengan permakluman dan keberpihakan pada pelaku. Sementara, empati pada korban sedikitpun tak terasa. Pendapatnya termasuk qaul syadz yang berbasis dalil yuridis dan sosiologis. Barang tentu, pendapat semacam ini tak mencerminkan tanggungjawab sosial intelektual yang mestinya lebih berpihak pada wong cilik dalam relasi kuasa.


Noam Chomsky dalam kasus perang sekalipun, seorang intelektual punya tanggungjawab sosial. Ia tak boleh tunduk pada relasi kuasa. Membenarkan apapun apa yang datang dari otoritas kekuasaan. Seorang intelektual harus tetap kritis kepada apapun dan siapapun. Sehingga ia tak terjebak pada kebenaran palsu dan kejahatan semu.


Aida Lutfiah, M.Pd, Ketua Garnita Malahayati NasDem Jember.

Bagikan:

Komentar