|
Menu Close Menu

Kartini, Leterasi dan AKI

Rabu, 21 April 2021 | 23.59 WIB

 

*Aida Lutfiah, M.Pd

OPINI - Usianya memang hanya sampai 25 tahun, tapi namanya abadi selamanya. Perempuan tercerahkan yang menjadi simbol perjuangan perempuan Indonesia. Sebuah perjuangan untuk memerdekakan perempuan bumi pertiwi dari sistem patriarki dan diskriminasi. Pahlawan kusama bangsa itu biasa dipanggil Raden Ajeng Kartini.


RA Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, 17 September 1904. Ia penggiat literasi, gemar korespondensi, dan suka publikasi. Namun, ia pelaku poligami, jalan tugas reproduksi dan simbol angka kematian ibu (AKI).


Presiden Ir Soekarno menetapkan RA Kartini sebagai pahlawan nasional dan menjadikan hari kelahirannya sebagai Hari Kartini pada 1964. Sebuah hari besar nasional untuk mengingatkan gerakan emansipasi wanita.


Setelah 147 tahun semenjak kelahiran Kartini, kondisi perempuan Indonesia sudah setara dalam memperoleh kesempatan pendidikan dan mendapatkan jabatan publik. Sudah tak ada diskriminasi, kendati indeks pembangunan gender (IPG) dan indeks pemberdayaan gender (IPG) menunjukkan masih belum setara 100 persen antara laki dan perempuan.


Indeks pembangunan dan pemberdayaan gender merupakan indikator dari capaian kesetaraan gender. Data Badan Pusat Statistik (BPS) di atas menunjukkan laki-laki dan perempuan belum setara. Ini merupakan tantangan Kartini-Kartini baru, bagaimana kondisi sumber daya manusia (SDM) dan peran publik perempuan terus meningkat.


Memang 10 tahun terakhir, grafik pertumbuhan pembangunan dan pemberdayaan perempuan terus meningkat. Namun, belum menunjukkan titik ekuilibrium antara laki dan perempuan. Sistem dan budaya sudah support relasi berkeadilan, tapi program pembangunan dan pemberdayaan ramah gender belum maksimal. Sebagai ilustrasi pada angka melek huruf dan angka kematian ibu.


Data BPS 2020 menyebutkan bahwa angka buta huruf perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Sebaliknya, melek huruf perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Tiga tahun terakhir, angka buta huruf naik turun. Pada 2018, buta aksara masyarakat 1,93 persen, pada 2019 turun menjadi 1,78 persen, dan pada 2020 naik kembali menjadi 1,93 persen.


Penduduk yang berusia 15-24 tahun berdasarkan jenis kelamin 3 tahun terakhir menunjukkan perkembangan sangat menggembirakan. Angka melek huruf (AMH) laki-laki dan perempuan pada 2020 mencapai titik ekuilibrium. Sama-sama 99,78 persen. Dimana pada 2018 dan 2019, laki-laki 99,72 dan 99,78 persen. Sedangkan, perempuan 99,7 dan 99,75 persen.


Keberhasilan pemberantasan buta aksara perempuan di atas tak lepas dari peran Ibu Kita Kartini. Seorang perempuan priyayi pertama mendapatkan kesempatan belajar.


Walau istri keempat KRM Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat, bupati Rembang, hanya menikmati bangku sekolah sampai usia 12 tahun. Keinginan untuk melanjutkan studi ke Belanda dan/atau Batavia batal lantaran tradisi pingit dan nikah dengan pilihan orang tua.


Namun, Sang Adipati sangat memahami keinginan Kartini dan mendukung penuh usaha mendirikan sekolah wanita di sebelah Timur Kompleks Kantor Kabupaten Rembang. Sekolah ini menjadi cikal bakal sekolah Kartini untuk mendidik perempuan baca tulis yang merupakan tradisi utama literasi.


Dalam 1 tahun perjalanan pernikahannya dengan Sang Adipati, Kartini menjalankan peran sebagai istri yang mengandung, serta sebagai guru yang mengajar perempuan Indonesia. Pasca 4 hari setelah melahirkan anak laki-laki, ia meninggal dunia dengan segala cita-cita besar bagi negeri ini.


Kartini meninggal di Medan jihad reproduksi. Proses persalinan memang berjalan lancar, namun ia hanya bisa bertahan 4 hari setelah persalinan. Data AKI terkini juga didominasi oleh ibu melahirkan di masa nifas. Sebuah masa kritis yang banyak berujung ajal. Kasus meninggalnya ibu melahirkan mayoritas karena pendarahan obstetrik dan hipertansi.


Ini berarti proses penanganan persalinan dan perawatan yang masih kurang memadai. Ini juga akibat tenaga kesehatan dan fasilitas masih kurang mencukupi.  Sehingga AKI Indonesia tergolong tinggi dengan 300 kasus per 100.000 kelahiran.


Dengan memperingati Hari Kartini, perempuan Indonesia harus menuntaskan kerja-kerja pembangunan dan pemberdayaan perempuan yang dilakukan sebelum dan sesudah Kartini meninggal. Yaitu dengan peningkatan program pemberantasan buta aksara untuk meningkatkan kemampuan literasi perempuan Indonesia serta program penurunan AKI.


Dua program tersebut belum tuntas diperjuangkan oleh Kartini semasa hidup dan Kartini-Kartini barulah yang harus melanjutkan perjuangan kesetaraan gender, seperti judul buku dari kumpulan korespendensinya "Habis Gelap Terbitlah Terang". Terakhir, saya kutipkan pesan dari tokoh perempuan inspiratif ini, "Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi!".


*Aida Lutfiah, M.Pd, (Ketua Garnita Malahayati NasDem Jember)

Bagikan:

Komentar