|
Menu Close Menu

Peranan Hoaks dalam memicu pertumpahan darah skala besar (sebuah tinjauan historis)

Senin, 03 Mei 2021 | 11.32 WIB




Oleh : Firman Syah Ali


Opini-Hoaks adalah salah satu istilah dalam Bahasa Indonesia yang diserap dari Bahasa Inggris. Sebagai kata benda, hoaks berarti berita bohong. Terminologi hoaks saat ini dipakai oleh warganet dalam mendefinisikan berita bohong yang beredar liar di media sosial. Namun hoaks sendiri sebetulnya telah menempuh perjalanan sejarah yang sangat panjang. Sudah banyak kerusakan besar, pembunuhan sadis dari generasi ke generasi, sudah banyak peperangan besar yang disebabkan oleh hoaks.


Perang Dunia II berawal dari sebuah siaran hoax melalui salah satu studio radio Jerman yang berbatasan dengan Polandia. Siaran hoaks tersebut menegaskan bahwa studio radio jerman di dekat perbatasan Polandia telah direbut oleh Polandia dan Polandia akan segera menyerbu Jerman. Akibat siaran hoaks tersebut, Adolf Hittler langsung melakukan serangan militer ke Polandia pada tanggal 1 September 1939, maka pecahlah Perang Dunia II yang menghancurleburkan tatanan peradaban global saat itu serta melenyapkan banyak nyawa. 


Perang dua tahun Swedia-Rusia tahun 1788 juga disebabkan oleh hoaks hasil rekayasa Raja Swedia Gustav III. Hoaks tersebut mengabarkan bahwa tentara Rusia menyerbu Swedia dan pihak Swedia berhasil mengalahkan serangan tersebut. Harga diri Rusia terusik dan segera mengirim tentara sungguhan ke Swedia, perangpun meletus. Tidak sedikit korban jiwa terkapar sia-sia di kedua belah pihak akibat hoaks tersebut.


Tahun 1870 pecah perang Prussia-Prancis yang menelan korban tiga perempat jiwa populasi Prussia dan Perancis saat itu. Perang maut tersebut dipicu oleh telegram hoaks hasil rekayasa Otto Von Bismarck. Motif Otto Von Bismarck memproduksi hoaks tersebut adalah ambisi ingin menjadi Raja  Prussia.


Pada akhir tahun 2010 pecah Arab Spring yang berarti musim semi di Arab. Arab Spring adalah serangkaian revolusi berdarah yang berhasil menggulingkan banyak pemerintahan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Presiden legendaris Libya  Moammar Qathafi tewas tergulung gelombang revolusi ini, begitupun Presiden Mesir Hosni Mobarak, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh dan Presiden Tunisia Ben Ali, sedangkan Presiden Suriah Bashar Al-Assad berhasil selamat dari hantaman Arab Spring dan bisa terus memimpin hingga saat ini. Otak revolusi menyulut emosi rakyat melalui media sosial, tentu saja dengan penyebaran konten-konten hoaks sebagaimana dikenal di Indonesia saat ini. 


Kalau kita menoleh jauh ke abad-abad nan telah silam, pembunuhan Khalifah ketiga umat islam Utsman Bin Affan ra juga disebabkan oleh hoax. Beredar surat perintah palsu dari Khalifah Utsman Bin Affan kepada Gubernur Mesir agar Gubernur Mesir menghukum para tokoh penggerak demonstrasi, surat palsu serupa juga beredar ke beberapa gubernur lain, akhirnya emosi para demonstran sulit dikendalikan dan gerakan protes sipil biasa berubah menjadi gerakan pembunuhan terhadap diri Khalifah. Gugurnya Khalifah Utsman Bin Affan di tangan para demonstran telah memicu konflik berdarah jangka panjang antar pemuka suku arab saat itu. Karena Madinah sudah dikuasai demonstran, Khalifah pengganti Utsman, Ali Bin Abu Thalib dari suku Hasyim memindahkan ibukota imperium Arab Muslim dari Madinah ke Kufah. Namun Gubernur Muawiyah dari suku Umayyah tetap mendesak Khalifah Ali untuk menindak hukum para pelaku pembunuhan Khalifah Utsman. Khalifah Ali memandang penindakan hukum secara cepat terhadap para pelaku pembunuhan Khalifah Utsman hanya akan lebih banyak mudhorat daripada manfaatnya, karena situasi saat itu sangat tidak memungkinkan. Muawiyah tidak sabar dengan kelambanan Khalifah Ali menghukum para pembunuh Khalifah Utsman (sepupu Muawiyyah), maka pecahlah perang shiffin. Peristiwa mediasi di akhir perang shiffin menyebabkan sekte Khawarij keluar dari barisan loyalis Khalifah Ali, berikutnya Khawarij membunuh Khalifah Ali. Terbunuhnya Khalifah Ali sebabkan banyak rentetan tragedi berdarah jangka panjang di tanah imperium Muslim, dan semua itu berawal dari hoaks.


Situasi Indonesia saat ini juga sama persis dengan kejadian-kejadian sejarah di atas. Hoaks beredar dengan liar di media sosial, isinya provokasi berbasis SARA semua. Konten-konten hoaks tersebut bertujuan mewujudkan pertumpahan darah antar agama dan etnis di Indonesia. Hoaks-hoaks itu membangun opini bahwa Indonesia saat ini dijajah oleh Cina, PKI sedang bangkit di bawah perlindungan Partai Komunis Cina, Islam Indonesia sedang ditindas oleh Partai Komunis Cina melalui tangan Jokowi, terbukti dengan video-video kekejaman Pemerintah Cina terhadap muslim Uighur, padahal itu video adegan-adegan film action kolosal yang disebar dengan caption kekejaman Cina terhadap muslim Uighur. Fakta bahwa komunitas muslim di Cina bukan hanya Uighur ditutupi oleh para penyebar hoaks. Selain video-video Uighur, yang trending hoax topic adalah video rohingya. Video hoax terbaru adalah tentang orang India menghancurkan dan membuang patung-patung dewa karena para dewa dianggap gagal menyelamatkan mereka dari pandemi. Padahal itu aslinya video ritual larung dewa yang biasa terjadi dalam tradisi salah satu sekte Hindhu. Tujuan semua hoaks tersebut adalah ingin selalu membangun truth claim dan rasa permusuhan dalam jiwa umat islam Indonesia. Kalau jiwa permusuhan, jiwa tertindas dan sejenisnya sudah terbangun, maka suatu saat akan mudah dibakar sebagaimana terjadi dalam Arab Spring. Nauzubillah tsumma Nauzubillah.


Dengan uraian di atas, kini kita sadar bahwa hoaks sedang mengancam keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Bangsa besar ini sedang dalam ancaman disintegrasi. Negara sejuk kaum muslimin nusantara ini sedang diambang kehancuran. Akankah kita diam saja melihat hoaks berlalu-lalang di media sosial sambil berleha-leha menunggu pertumpahan darah dan kehancuran bangsa?



*) Penulis adalah Koordinator Wilayah Sahabat Mahfud MD Jawa Timur

Bagikan:

Komentar