|
Menu Close Menu

Gie, Semeru dan Fikih Lingkungan

Senin, 06 Desember 2021 | 11.10 WIB

Perumahan warga yang kenak erupsi gunung Semeru Lumajang. (Dok/Istimewa).


Oleh Moch Eksan

Lensajatim.id, Opini- Gunung Semeru yang erupsi pada Sabtu, 4 Desember 2021, merupakan gunung merapi aktif. Gunung ini tertinggi di Pulau Jawa yang memiliki ketinggian 3.676 meter dari atas permukaan laut. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), mencatat lebih dari 56 kali erupsi sejak 1818 sampai 2021 ini. Erupsi tersebut acapkali menimbulkan korban, baik harta maupun jiwa.


Dari sejumlah erupsi di atas, korban jiwa yang tercatat pada Erupsi Semeru, Rabu, 2 Februari 1994 menelan korban 7 orang jiwa. Dan erupsi sekarang ini, sementara menelan korban 14 orang jiwa, 56 luka-luka, dan 1.300 orang pengungsi. Berarti erupsi kali ini yang menimbulkan korban terbesar sepanjang sejarah Semeru.


Di luar bencana, Gunung Semeru juga menelan korban para pendaki lantaran menghirup udara gas beracun. Pendaki itu seorang aktivis, Soe Hok Gie yang terkenal sangat kritis terhadap rezim Orde Lama dan Orde Baru yang tiran. Pada 1969, Gie bersama dengan para sahabatnya mendaki Gunung Semeru, disana pula ia menemukan ajal pada 16 Desember 1969 di usia 26 tahun. Ia meninggal dunia dengan membawa cita-cita besar seorang anak keturunan Tionghoa yang idealis dan cinta Tanah Air.


Gunung Semeru merupakan destinasi wisata yang menawarkan keindahan alam elok nan rupawan . Banyak pendaki yang ingin menaklukkan gunung yang berada di antara wilayah Kabupaten Lumajang dan Malang. Memang jauh sebelum Gie yang berlatar belakang Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, Clignet dan Winny Brigita, ahli geologi Belanda, mendaki Gunung Semeru pada 1838. Banyak pendaki sebelum dan setelahnya yang telah menaklukkan pasak bumi Pulau Jawa ini.


Dalam mitologi Jawa, Gunung Semeru dibawa Dewa Shiwa dan Brahma dari India ke Indonesia untuk memasak Pulau Jawa yang mengapung di antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Mitologi ini secara sains dibenarkan oleh ahli geologi asal Washington Amerika Serikat, Frank Press bahwa gunung itu berfungsi sebagai pasak bumi yang berakar di tanah. Bila dibelah seperti irisan yang akan terlihat akar atau alur lava yang mengikat kuat di dasar tanah. Gunung juga berfungsi untuk menstabilkan kerak bumi yang terus menerus bergerak.


Mitos dan pandangan sains perihal gunung di atas, ternyata sudah digambarkan dalam Al-Qur'an. Kitab suci umat Islam ini mengemukakan kata persepadanan gunung dengan kata "jibal" yang disebut 34 kali. Di antaranya mengatakan dengan jelas, bahwa gunung adalah pasak bumi, seperti dalam QS Al-Annaba ayat 6-7, "Bukankah telah Kami jadikan bumi sebagai hamparan. Dan Kami jadikan gunung-gunung sebagai pasak?"


Begitu pula, gunung menstabilkan goncang-goncangan bumi, seperti dalam QS Al-Anbiya ayat 31, "Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka…”


Dalam perspektif fikih lingkungan, erupsi sesungguhnya fenomena geologis yang mengabarkan ayat-ayat kauniyah. Betapapun akal fikiran manusia telah menaklukkan alam, ia tetap makhluk yang dhaif. Ilmu manusia yang sampai sekarang hanya bisa mendeteksi erupsi dan belum bisa mencegah erupsi itu sendiri. Alat pantau gunung merapi, seperti seismometer dan tiltmeter, hanya bisa mendeteksi untuk menghindari banyaknya korban berjatuhan.


Parameter sukses penanganan bencana bukan pada keberhasilan mencegah bencana, melainkan keberhasilan meminimalisasi korban. Apalagi secara geologis Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, melaporkan bahwa selama 2020, terjadi 3.254 kejadian bencana di Indonesia. Secara material, kerugian akibat bencana yang diderita oleh bangsa ini sebesar Rp 22,8 triliun per tahun. Selama 10 tahun terakhir, berbagai bencana alam itu menelan korban 1.183 orang meninggal dunia.


Dalam konteks ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2024. Dimana pada Pasal 5 ayat (3) Perpres ini memberikan mandat pada kepala daerah untuk menyusun RIPB. 


Sementara RIPB itu sendiri meliputi: pertama, pengenalan dan pengkajian ancaman bencana, kedua, pemahaman terhadap kerentanan masyarakat, ketiga, analisis kemungkinan dampak bencana, keempat, pilihan tindakan pengurangan resiko bencana, kelima, penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana, dan keenam, alokasi tugas, kewenangan, dan sumberdaya yang tersedia, sebagaimana ketentuan Pasal 4 Perpres tersebut.


Jadi, erupsi Gunung Semeru merupakan bencana alam yang tajbiri (yang harus diterima) tanpa kuasa mengelak, namun dampak bencana dari letusan gunung adalah takhyiri (yang wajib diusahakan) untuk dikurangi. Sehingga, pemerintah harus mengakui bahwa korban yang banyak berjatuhan itu merupakan "kelalaian geologis". Pemerintah di semua tingkatan, mesti menyesali dan memohon ampun keharibaan Allah SWT, seraya bersungguh-sungguh untuk memperbaiki tata kelola kebencanaan guna sebar-besarnya melindungi segenap tumpah darah Indonesia.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar