|
Menu Close Menu

Menunggu Rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum

Sabtu, 29 Juli 2023 | 12.33 WIB


Ilustrasi. (Dok/Hukumonline ).


Oleh: Ribut Baidi*



Lensajatim.id, Opini- Tim Percepatan Reformasi Hukum (TPRH) yang dibentuk oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Kemenkopolhukam RI) melalui Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Reformasi Hukum dengan empat agenda prioritas yang menjadi tugasnya. Pertama, reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum. Kedua, reformasi hukum sektor agraria dan sumber daya alam. Ketiga, pencegahan dan pemberantasan korupsi. Keempat, reformasi sektor perundang-undangan. 


Publik Indonesia menaruh harapan besar ke depan TPRH dapat bekerja secara maksimal dalam mengurai sengkarut problematika kebangsaan dan kenegaraan yang telah lama bersarang di Republik ini. TPRH yang berisikan orang-orang dengan kepakarannya masing-masing, seperti pakar hukum pidana, pakar hukum tata negara/administrasi negara, pakar kebijakan kehutanan dan lingkungan, pakar ekonomi, mantan komisioner komisi pemberantasan korupsi, mantan ketua pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan, dan sederet akademisi maupun praktisi yang selama ini banyak berkiprah untuk membangun Indonesia lebih baik dan bermartabat.


Dengan jabatan yang singkat selama sembilan bulan sejak 23 Mei 2023 sampai dengan 31 Desember 2023 meskipun dimungkinkan jabatan TPRH diperpanjang dengan segala kebijakan dan pertimbangan pemerintah melalui Kemenkopolhukam RI, tetapi sembilan bulan adalah durasi waktu yang singkat. TPRH dituntut bekerja cerdas dan cepat dalam menginventarisasi sengkarut persoalan dan mengkajinya secara ilmiah untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi konstruktif, akurat, dan kredibel yang nantinya dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah saat ini maupun pemerintah yang dihasilkan dari pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang.



Sengkarut Problematika


Empat agenda prioritas yang menjadi fokus TPRH tentu membutuhkan tenaga ekstra dan konsentrasi pemikiran untuk mengurai sengkarut problematika kebangsaan dan kenegaraan yang begitu banyak terjadi di Indonesia, baik persoalan lembaga peradilan dan penegakan hukum, persoalan agraria dan sumber daya alam, pencegahan dan pemberantasan korupsi, maupun persoalan yang menyangkut benturan dan tumpang tindih (overlap) regulasi yang berakibat munculnya tumpang tindah kewenangan yang ada pada lembaga pemerintahan dan berpengaruh terhadap efektifitas pelayanan publik. 


Persoalan suap-menyuap di lembaga peradilan seperti kasus operasi tangkap tangan komisi pemberantasan korupsi tahun 2022 terhadap hakim agung di Mahkamah Agung (MA), berupa kasus dugaan suap pengurusan perkara KSP Intidana yang menyeret hakim Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, beberapa pegawai kepaniteraan MA, dua orang pengacara dan pihak swasta, sampai merebet kepada penelusuran perkara suap-menyuap lebih lanjut yang menyeret juga sekretaris jenderal MA, Hasbi Hasan turut menjadi bagian dari tersangka dan ditahan oleh KPK. Belum lagi, banyaknya persoalan yang merusak citra hukum dan penegakan hukum di instansi kepolisian, kejaksaan, dan KPK sendiri, seperti dugaan suap-menyuap, dugaan gratifikasi, dugaan korupsi, kejahatan narkotika, dan sederet persoalan lainnya, baik di level pusat maupun di level daerah.


Persoalan konflik di sektor agraria dan sumber daya alam adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri yang meliputi perkebunan, infrastruktur, properti, pertambangan, kehutanan, fasilitas militer, pertanian/agribisnis, serta pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dengan ribuan hektar dan dampaknya dirasakan oleh ratusan ribu kepala keluarga. Belum lagi, adanya kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak tanah maupun aktivis lingkungan merupakan bagian dari “pekerjaan rumah” yang harus dicarikan solusinya melalui rekomendasi-rekomendasi TPRH.


Di sisi lain, skandal mega-korupsi seperti kasus korupsi penyerobotan lahan di Riau, korupsi PT. Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI), korupsi ASABRI, korupsi Jiwasraya, korupsi proyek Base Transceiver Station (BTS) 4G Bakti Kominfo, dan beberapa mega-korupsi lainnya yang telah terjadi pada masa lalu dengan kerugian negara tidak hanya hitungan milyaran rupiah, tetapi mencapai triliunan rupiah. Dari sekian deretan mega-korupsi tersebut, masih belum menyentuh korupsi yang terjadi di berbagai daerah yang melibatkan pejabat-pejabat publik, anggota legislatif, aparat penegak hukum,  pihak swasta/rekanan, bahkan di perguruan tinggi tidak luput dari korupsi. Jika perilaku korupsi dan mental korup ini dibiarkan semakin meluas, maka tidak menutup kemungkinan ancaman kebangkrutan negara ini tinggal menunggu waktu.


Rekomendasi yang Ditunggu


Dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, TPRH harus selektif dan jeli menginventarisasi persoalan-persoalan akut dan genting yang telah lama “menyandera” negara ini untuk dikaji secara ilmiah. Komitmen dan keseriusan TPRH mengurai satu-persatu persoalan yang menjadi prioritas sebagaimana yang ditentukan dalam empat agenda prioritas harus dilakukan dengan penuh kecermatan, kehati-hatian, dan taktis-strategis. 


Rekomendasi-rekomendasi tersebut akan menjadi acuan pemerintah saat ini dengan sisa waktu yang ada untuk menuntaskan segala problematika kebangsaan dan kenegaraan agar tidak menjadi beban berantai kepada pemerintahan berikutnya. Paling tidak, melalui rekomendasi-rekomendasi TPRH, pemerintah telah mempersiapkan “rancang bangun” kebijakan yang nantinya dapat ditindaklanjuti oleh pemerintahan berikutnya, baik itu melalui kerja-kerja tekhnis ataupun pembentukan regulasi baru yang dapat menyelesaikan problematika tersebut melalui penindakan hukum yang tegas dan berkeadilan, serta di masa-masa yang akan datang dapat mencegah munculnya problematika baru yang sama beratnya atau bahkan lebih berat dari yang terjadi saat ini.


TPRH dengan segala potensi yang dimiliki harus juga bisa membaca situasi tentang kemungkinan menemui jalan terjal dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang diembannya, terutama dari para pelaku kejahatan korupsi maupun sindikat kejahatan lainnya yang berjejaring luas. Mereka tentu merasa risih dan terusik dengan TPRH, meskipun TPRH bukanlah aparat penegak hukum ataupun lembaga ad hoc yang keberadaannya untuk mengurus hal tekhnis dalam penegakan hukum. Oleh sebab itu, dukungan pemerintah secara maksimal yang bersambut baik dengan dukungan publik terhadap TPRH akan lebih memudahkan TPRH bergerak dan bekerja untuk masa depan hukum dan penegakan hukum di Indonesia. (*) 



*Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM);

Pengurus DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Jawa Timur Periode 2022-2027.

Bagikan:

Komentar