|
Menu Close Menu

Putusan Hakim dan Integritas Peradilan

Sabtu, 15 Juli 2023 | 11.10 WIB




Oleh: Ribut Baidi*


Lensajatim.id, Opini- Hukum dan keadilan adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling berkelindan, berhubungan, dan saling mempengaruhi terhadap kehidupan masyarakat. Hukum itu ada (eksis) dan berfungsi semenjak masyarakat itu ada dan berinteraksi dalam kehidupan sosialnya. Ungkapan klasik ‘ubi societas ibi ius’ atau hukum ada dan berfungsi di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan akan memenuhi fungsinya jika keberadaan hukum tersebut benar-benar dipatuhi. 


Artidjo Alkostar (2015) memberikan pemahaman bahwa refleksi dari kehidupan sosial, keberadaan hukum dan pemenuhan fungsinya disyaratkan untuk ramah dan terbuka menjalin hubungan dengan bidang kehidupan lainnya agar efektifitas dan efisiensi hukum dapat dielaborasi dengan runtut. Dalam pandangan legal melee, hukum merupakan suatu jaringan besar dari relasi sosial. Sehingga jika dirunut dapat dijelaskan beberapa utas tali hubungan pengaruh hukum atas individu, dampak hukum bagi masyarakat, pengelolaan keamanan masyarakat, dan lain sebagainya. Hukum melindungi masyarakat karena fungsinya memang demikian, disamping juga sebagai acuan bersama dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk juga sebagai prasarana mental dalam rangka mencapai keadilan. Hukum juga sebagai institusi sosial yang memfasilitasi interaksi dan hubungan hukum masyarakat. Semakin efektif relevansi sosial suatu hukum, maka akan semakin dirasakan dimensi protektif dari hukum tersebut.


Manusia, Hukum dan Keadilan


Sebagai makhluk sosial, manusia terikat dengan kaidah hukum yang disepakati dalam kehidupan yang berfungsi untuk mengatur hubungan sosial  agar bisa terarah, aman, dan tercipta suatu tertib hukum yang berimplikasi positif terhadap keamanan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Diperlukan suatu peran institusi formal yang bisa menjalankan dan menjadikan hukum sebagai sebuah kaidah yang dapat memberikan kepastian, kemanfaatan, dan terlebih lagi rasa keadilan.


John Rawls (2019) memaknai keadilan sebagai kebajikan utama dalam institusi sosial sama halnya dengan kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu pemikiran betapapun elegan dan ekonomisnya jika tidak mengandung kebenaran, maka harus ditolak atau direvisi. Begitu juga hukum dan institusinya, betapapun efisien dan rapinya jika mengandung ketidakadilan, maka harus direformasi atau dihapuskan. 


Dalam konteks Indonesia, para Founding Fathers telah meletakkan fondasi kemanusiaan dan keadilan sebagai pijakan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Indonesia telah mempertegas diri sebagai negara hukum sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan sistem hukum yang berisikan prinsip keadilan untuk melindungi kepentingan masyarakat agar tujuan sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain dalam bernegara tercapai dengan baik dan maksimal.


Peran Hakim dalam Penegakan Hukum


Indonesia sebagai negara hukum telah membawa konsekuensi logis terhadap penegakan hukum yang tidak hanya berlandaskan pada perundang-undangan, melainkan juga merujuk pada putusan pengadilan yang sama-sama dipakai sebagai dasar/landasan hukum dalam ranah praksis-empiris. Diperlukan figur-figur hakim yang memiliki pemahaman hukum yang luas, penguasaan dan analisis fakta yang baik, dan yang paling penting memiliki integritas agar putusan yang dihasilkan benar-benar menunjukkan integritas lembaga peradilan.

 

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selanjutnya, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Kemudian, di dalam Pasal 1 UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.


Anwar Usman (2020) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dipersonifikasikan oleh diri hakim yang bersifat bebas, tidak boleh diintervensi dari pihak manapun dan oleh siapapun, terkecuali secara tegas dinyatakan di dalam UUD 1945 maupun perundang-undangan lainnya. Dengan kebebasan yang dimiliki oleh hakim, maka tegaknya hukum dan keadilan akan dengan mudah diwujudkan melalui putusan-putusannya. Dalam konteks ini, hakim tidak akan pernah terpengaruh oleh opini publik yang sengaja diciptakan untuk menggiring pikiran hakim dalam memutus suatu perkara. 


Hakim diberikan porsi kewenangan yang istimewa dibanding aparat penegak hukum lainnya. Keistimewaan tersebut setidaknya bisa kita temukan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.  Kewajiban hakim dan hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bertujuan agar produk hukum dalam bentuk putusan pengadilan sesuai dengan hukum dan rasa keadilan. 


Jimly Asshiddiqie (2020) menegaskan bahwa hakim memiliki tugas utama membaca, mendengar, melihat, dan memeriksa berkas-berkas perkara beserta para pihak yang berperkara berdasarkan sumber-sumber rujukan faktual, sistem nilai dan norma yang berlaku untuk memutus perkara dengan adil dan benar menurut keyakinannya berdasarkan prinsip Ketuhanan. Hal paling pokok pada diri hakim adalah membuat putusan untuk keadilan. Terlepas dari kenyataan apakah di mata publik ataupun di mata para pencari keadilan dan pihak-pihak yang terkait, putusan hakim itu benar atau salah, memuaskan atau tidak memuaskan, sekali diputuskan/ditetapkan, maka putusan hakim itu adalah keadilan itu sendiri yang harus dihormati dan ditaati dalam kehidupan berkebangsaan dan berkenegaraan. 


Dengan demikian, putusan hakim memiliki nilai yang sangat bermakna bagi kehidupan masyarakat terutama para pencari keadilan karena mereka semua menggantungkan nasib dan masa depannya pada genggaman putusan hakim. Munculnya perilaku hakim yang kurang berintegritas dalam proses penegakan hukum dan dalam membuat putusan, maka akan berdampak buruk terhadap pengadilan, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang, mengingat putusan hakim merupakan salah satu cerminan dari integritas peradilan itu sendiri. (*).


*Advokat  dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan;

Pengurus DPD MAHUPIKI Jawa Timur 2022-2027.

Bagikan:

Komentar