|
Menu Close Menu

Melihat Ulang Konsep Arbain dalam Perspektif Contra Flow Arus Jemaah Haji Indonesia

Rabu, 02 Agustus 2023 | 15.44 WIB



Oleh : Musaffa' Safril 


Lensjatim.id, Opini- Arba'in merupakan salah satu ibadah yang dijalankan jemaah haji di Kota Madinah al Munawarah, yaitu melaksanakan shalat fardu empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam


Jemaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk tinggal di Madinah selama minimal delapan hari agar bisa menjalankan shalat Arba'in.


Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ


Barang siapa shalat di masjidku empat puluh shalat tanpa ketinggalan, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan bebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad)


Pada umumnya para jemaah haji, mengikuti program arba'in ini. Sehingga untuk mencapai target 40 kali shalat fardhu, mereka harus menetap tinggal di Madinah sekurang-kurangnya delapan hari.


Luar biasanya keutamaan Arbain ini sehingga tidak sedikit jemaah haji termasuk jemaah haji asal Indonesia tidak ingin melewatkannya, bahkan tidak jarang para jemaah haji lanjut usia dan risiko tinggi (risti) sekalipun memaksakan diri mengikuti shalat berjamaah di Masjid Nabawi demi tercapainya Arbain. 


Tingginya minat jemaah dalam mengikuti Arba'in melahirkan anggapan pada sebagian jemaah bahwa Arba'in merupakan bagian dari rangkaian ibadah haji yang tidak bisa ditinggal, sehingga tidak jarang pula ditemukan jemaah lanjut usia dan risiko tinggi (risti) yang kedapatan pingsan di Masjid Nabawi karena terlalu memaksakan diri dalam kondisi tubuh yang kurang sehat, keletihan karena perjalanan atau tingginya rutinitas kegiatan jemaah haji. Tingginya antusiasme mereka kadangkala mengesampingkan kondisi kesehatannya demi bisa melaksanakan Arbain.


Arba'in sejatinya bukanlah merupakan bagian daripada ritus haji, tetapi jemaah haji pada umumnya mengharapkan betul bisa melaksanakan Arbain ini terutama berkaitan dengan keutamaan shalat Arbain yang luar biasa


Pada prinsipnya Arbain bukanlah bagian daripada rangkaian ritus haji yang terikat oleh waktu-waktu tertentu sebagaimana rukun haji seperti wukuf di Arofah, Mabit di Muzdalifah dan melempar jumroh di Mina, sehingga bagi umat islam yang ingin menjalankan Arbain sejatinya tidak harus pada musim haji atau waktu khusus. 


Mengkaji Ulang Masa Tinggal Jemaah Haji di Madinah


Jemaah haji Indonesia tinggal selama lebih kurang delapan hari di Madinah dari total durasi 40 hari di Arab Saudi.

Masa delapan hari di Madinah tersebut dipergunakan oleh jemaah haji Indonesia untuk melaksanakan ibadah Arbain.


Namun masa tinggal delapan hari tersebut seringkali memunculkan polemik tersendiri pada aspek manajemen haji Indonesia, diantaranya adalah ketika pesawat atau kendaraan yang mengangkut jemaah ke Madinah mengalami keterlambatan atau delay maka praktis akan mengurangi jatah waktu yang bisa digunakan oleh jemaah haji untuk melaksanakan Arba'in. Atau ketika jemaah haji harus segera didorong dari Madinah baik untuk diberangkatkan ke Mekah bagi jemaah haji gelombang satu atau harus segera didorong ke bandara bagi jemaah haji gelombang dua yang akan pulang ke tanah air, maka hal ini juga dapat mengganggu jadwal Arba'in. Pada kondisi seperti itu jemaah harus memilih antara melanjutkan Arbain atau mengambil resiko ketinggalan pesawat. Sehingga hal ini seringkali melahirkan protes keras dari jemaah haji yang harus meninggalkan Madinah sementara target Arba'in belum tercapai


Jika konsep Arbain kedepan tetap dipertahankan, maka mutlak masa tinggal jemaah haji di Madinah minimal harus delapan hari, dan tentu ini berpengaruh kepada aspek biaya penginapan, konsumsi, transportasi, dan juga aspek kesehatan jemaah. 


Bila Arba'in tidak lagi diterapkan pada rangkaian perjalanan Ibadah haji maka tentu akan menekan ongkos naik haji itu sendiri. Sehingga ada baiknya apabila konsep Arbain dikaji kembali dan disuarakan kepada masyarakat.


Beberapa negara lain tidak lagi menjadikan Arba'in sebagai program pada rangkaian ibadah haji mereka, semisal Malaysia yang sejak 2018 sudah tidak menerapkan lagi Arbain bagi jemaah haji mereka. Sehingga jemaah haji Malaysia hanya enam hari berada di Madinah.


Arbain Sebagai Contra Flow Arus Jemaah


Penerapan program Arbain pada rangkaian ibadah haji khususnya jamaah haji indonesia sebenarnya tidak lepas dari adanya situasi dan kondisi di masa lalu dimana bandara yang digunakan sebagai pendaratan pesawat angkut jemaah haji hanya terpusat di bandar udara King Abdul Aziz di Jeddah.


Sehingga hal ini menuntut adanya pengaturan sedemikian rupa arus jemaah yang begitu besar yang datang ke tanah suci maka lahirlah kemudian sistem dua gelombang.


Jemaah haji berangkat dari tanah air mendarat di bandara King Abdul Aziz Jeddah, dari bandara King Abdul Aziz kemudian diberangkatkan ke Mekah sebagai titik tujuan seluruh jemaah haji dari berbagai negara termasuk Indonesia. Dengan jumlah jemaah yang begitu besar maka terjadi arus yang cukup besar pula dari jedah menuju Mekah. Ini tentu sangat mengagetkan dalam aspek manajemen. Maka Arbain dimunculkan sebagai rangkaian perjalanan ibadah haji agar konsentrasi jemaah tidak berada pada satu titik yaitu di Mekah dengan konsep dua gelombang. Muncullah kemudian konsep gelombang satu dan gelombang dua.


Gelombang satu diberangkatkan dahulu dari Jeddah menuju Madinah, Kemudian dari Madinah menuju Mekah, dari Mekah menuju kembali ke Jeddah untuk selanjutnya pulang ke tanah air.


Gelombang dua diberangkatkan dari Jeddah menuju Mekah, kemudian dari Mekah menuju Madinah, dari Madinah menuju Jeddah (sebelum digunakannya bandara Madinah).Kenapa itu terjadi karena untuk memecah konsentrasi jemaah kita yang begitu besar.


Pada perjalan waktu Bandar Udara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz Madinah dibuka untuk pesawat angkut jamaah haji termasuk jemaah haji Indonesia bisa mendarat disana, sehingga paradigmanya kemudian berubah.


Bila melihat Arbain dalam perspektif contra flow arus jemaah menuju Mekah dengan konsep dua gelombang. Dengan diperbolehkannya pesawat pengangkut jemaah haji mendarat di bandara Madinah maka Arba'in dalam kacamata aspek strategi pemecah konsentrasi jemaah menjadi tidak lagi relevan.


Apalagi ada wacana bahwa kedepan Arab Saudi akan kembali membuka beberapa bandar udara yang juga akan difungsikan sebagai pendaratan pesawat angkut jemaah haji, maka dalam konteks contra flow Arbain menjadi semakin tidak relevan lagi.


(*Petugas Layanan Lansia Sektor 1 Madinah, PPIH Arab Saudi Tahun 2023 

Bagikan:

Komentar