Nur Hidayat Sardini, akademisi dari Universitas Diponegoro (UNDIP). (Dok/Istimewa). |
Lensajatim.id, Surabaya– Nur Hidayat Sardini, akademisi dari Universitas Diponegoro (UNDIP) sekaligus Kepala Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP UNDIP sekaligus Ketua Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) RI pertama, menyampaikan pandangannya mengenai kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Ia menilai demokrasi mengalami kemunduran serius.
Ia menggarisbawahi adanya tren penurunan kualitas demokrasi, baik di Indonesia maupun di tingkat global, yang semakin nyata sejak 2016.
Menurut akademisi yang biasa disapa NHS ini, istilah seperti "democratic regression" dan "democracy backsliding" digunakan oleh banyak ahli untuk menggambarkan kondisi saat ini.
"Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat, di mana terpilihnya Donald Trump sebagai presiden pada 2016 memperlihatkan bagaimana demokrasi yang dikenal kuat dapat diruntuhkan dengan cara-cara non-demokratis. Trump, dengan latar belakang sebagai pengusaha, dianggap menggunakan cara-cara culas untuk memenangkan Pilpres AS, yang kemudian merusak tatanan demokrasi di negara tersebut, termasuk seperti upaya menekan jurnalis seperti dalam upaya memojokkan the washington post," kata Nur Hidayat, Kamis (12/9/2024).
Tren ini, lanjutnya, juga diikuti oleh Indonesia. Omnibus Law, yang diperkenalkan beberapa waktu lalu, dianggap sebagai bagian dari upaya untuk merusak demokrasi dengan mengutamakan kepentingan korporasi dan menindas kelompok-kelompok rentan seperti buruh dan masyarakat adat. Selain itu, deinstitusionalisasi lembaga demokrasi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengalami revisi UU, turut mengurangi kredibilitas pemerintahan.
Ia melanjutlan, disaat bersamaan juga berpengaruh terhadap lingkungan, khususnya deforestasi yang makin menggila. UU ITE juga dinilai menjadi alat yang intensif merepresifkan masyarakat yang berbeda pendapat dengan pemerintah, serta disahkannya UU Ibu Kota Negara (IKN) tanpa upaya-upaya deliberasi kepada pemangku kepentingan .
“Demokrasi Indonesia, seperti halnya di berbagai negara lain, sedang mengalami "backsliding". Ini adalah masalah serius,” ungkap NHS.
Ia juga menyoroti perubahan Undang-Undang Kepala Daerah yang dianggap mempengaruhi dinamika politik, yang kemudian dalam konteks Pilkada Jakarta 2024 juga memotong Anies Baswedan melalui proses politik dengan koalisi yang sangat kartelian dalam bentuk Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Selain itu, ia menyoroti semakin lemahnya mekanisme check and balance di institusi demokrasi Indonesia, yang disebutnya terkonsentrasi pada kekuatan kepala eksekutif.
NHS juga menyoroti kondisi transisi kekuasaan saat ini, berharap bahwa presiden terpilih, Prabowo Subianto, diharapkan dapat menjadi pemimpin yang mampu menjaga demokrasi di Indonesia. Namun, ia juga mengakui bahwa Prabowo juga bagian dari oligarki yang anti-demokrasi.
"Harapannya, Prabowo bisa memisahkan diri dari bagian tersebut dan memperbaiki citra pemerintah untuk pantas mengawal jalannya demokrasi ke depan.
“Demokrasi tidak bisa diraih dengan meminta-minta, tetapi harus diperjuangkan, selayaknya merebut kemerdekaan indonesia dari kolonial, demokrasi juga harus direbut dari mereka yang punya perilaku yang tidak demokratis," tegasnya.
NHS juga menekankan pentingnya kesadaran dari kalangan muda yang akan menjadi mayoritas pemilih pada Pilkada 2024. Ia menyerukan agar kaum muda aktif mendorong demokrasi yang lebih baik lagi untuk indonesia. (Had).
Komentar