|
Menu Close Menu

Mengapa DPRD Tidak Pernah Meminta Maaf? Dan Lainnya

Minggu, 02 Maret 2025 | 17.17 WIB

 

Ilustrasi pelantikan DPRD. (Dok/Istimewa). 

Oleh : NK Gapura


Lensajatim.id, Opini- Keterampilan saya menulis, yang hanya seujung upil, akhir-akhir ini sudah cukup komersil. Kawan-kawan yang berprofesi sebagai jurnalis tentu saja mengerti itu. 


Nyaris 1,5 bulan ini, secara indie, saya memposting beragam "kegelisahan subjektif" yang saya temui hampir setiap hari. Nyaris tidak lagi. Sebab, setelah selesai menulisnya, saya mudah males untuk membacanya lagi. Akhirnya gagal disebar. 


Rencana, melalui catatan ini, saya ingin merekap kegelisahan itu dalam beberapa paragraf yang singkat dan sederhana. Semoga saya bisa menyederhanakannya dan nanti enak dibaca. 


Pertama, kegelisahan itu berupa pertanyaan. Mengapa DPRD Sumenep jarang sekali, bahkan tidak pernah meminta maaf ke publik? Baik secara perorangan atau kelembagaan?


Seakan saja, semua tanggung jawab mereka benar semua. Tidak ada yang pernah keliru. Pun jika ada ada keliru, masih ada "pihak lain" yang dirasa lebih bersalah dari mereka. Eksekutif misalnya, yang dianggap tidak becus "merealisasikan" perda yang telah dengan mahal dibuatnya. 


Andai Tuhan boleh lebih dari satu, mungkin yang kedua adalah anggota DPRD. Secara kelembagaan, mereka jarang tersentuh hukum. Secara perorangan, dalam pandangan awam saya, mereka punya keterampilan berkilah layaknya pencuri andalan. 


Menurut kabar burung, mereka tidak peduli akan apapun. Mereka hanya peduli dengan "PAD pribadinya". Jika terusik, sikap mereka akan jadi tidak asyik. Kadang bahkan berisik. 


Katanya, mereka bersitegang jika PAD pribadinya tidak sama. Hanya karena itu mereka berdebat. Selebihnya, hanyalah gimmick semata. Tapi itu semua bisa jadi tidak ada benarnya.  


Sebenarnya mimpi saya sederhana. Misalnya, kawan-kawan DPRD dengan rela hari meminta maaf karena Perda non APBD yang telah disahkan oleh mereka banyak yang hanya jadi macan kertas.


Setelah perda disahkan, jarang sekali kawan-kawan di DPRD mengevaluasi isi, realisasi dan pengawasannya. Jarang sekali. 


Jika pun ada pengawasan, mungkin hanya "sekedar" geram, mendesak, meminta dan statemen remah lain untuk sekedar memenuhi kebutuhan berita untuk pembaca. Hanya itu.


Maka, permintaan ini saya rasa tidak mengada-ada. Karena mereka berkewajiban melakukan pengawasan, dan jika mau, mereka juga punya hak untuk "mengoreksi" puluhan perda yang telah disahkan. 


Hanya saja, setiap tahun, mereka hanya sibuk menyebut banyak perda yang mendesak harus dibuat. Mereka tidak pernah minta maaf karena sudah banyak perda yang hanya jalan ditempat. 


Pertanyaanya masih sama, mengapa DPRD tidak pernah minta maaf? Apakah benar, bahwa setiap orang yang menjadi anggota DPRD, khittah layaknya manusia biasa sudah tidak ada? Tidak lagi bisa dituduh salah atau lupa? Hanya Tuhan yang maha tahu jawabannya. Dan biarkan anggota DPRD yang memodifikasinya. 


Kedua, soal jalan rusak di pintu masuk pasar Anom sisi selatan. Setiap kali selesai mengambil tanda karcis elektronik, terurama di bagian kendaraan roda dua, maka setiap pengendara akan disambut lubang besar yang menganga.


Melewati jalan berlubang itu, pertanyaan-pertanyaan kotor muncul seenaknya di kepala. Setiap hari, bahkan berbulan-bulan, setiap pembeli dan atau penjual yang masuk dengan motornya dikarcis. Tapi kok jalannya berlubang dan jarang nicis? 


Yang terasa, di dada, perasaan tidak terima. Sebab pikiran mendadak menggugat. Karcis diminta, tapi sepersekian menit kemudian ada fakta bahwa jalannya tidak "sehat". Kiranya uang karcis itu siapa yang embat? 


Ini hanya di satu tempat; di pintu masuk sisi selatan pasar tradisional Anom Sumenep, yang setelah dimintai karcis, kita akan disambut jalan menganga. Bagaimana jika perasaan tidak terima itu muncul di ratusan tempat lainnya, apakah kita cukup diam saja pada negara?


Selamat menunaikan ibadah puasa. Dan salam awam saja. 


Gapura, 2 Maret 2025

Bagikan:

Komentar