|
Menu Close Menu

Ning Lia Dorong Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Ini Bukan Sekadar Wacana, Tapi Kebutuhan Nyata Umat

Kamis, 17 Juli 2025 | 16.51 WIB

Ning Lia, Anggota DPD RI asal Jawa Timur.(Dok/Istimewa). 
Lensajatim.id, Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Pemilihan Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, M.E.I, menegaskan perlunya reformasi mendalam dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji. Pernyataan ini merespons hasil Mudzakarah Perhajian Indonesia terbaru yang menyerukan perlunya pembentukan Kementerian Haji dan Umrah sebagai entitas terpisah dari Kementerian Agama (Kemenag).


Dalam keterangannya, Ning Lia—sapaan akrabnya—menyatakan bahwa transformasi Badan Penyelenggara Haji (BPH) menjadi kementerian penuh bukan sekadar wacana politik, tetapi merupakan langkah strategis untuk meningkatkan pelayanan ibadah haji secara menyeluruh dan terintegrasi.


“Ini bukan sekadar soal struktur, tetapi soal pelayanan umat. Setiap tahun selalu ada masalah—dari pembagian kuota yang tidak transparan, antrean puluhan tahun, hingga layanan akomodasi dan kesehatan yang dikeluhkan jamaah,” ungkap Ning Lia, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Fatayat NU, dan Anggota Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI, Rabu (16/07/2025). 


Menurutnya, sistem kewenangan saat ini masih tumpang tindih. Meskipun koordinasi antara Kemenag, BPH, BPKH, dan perwakilan Indonesia di Arab Saudi telah dilakukan, efektivitasnya belum optimal. Ia menilai, dibutuhkan satu kementerian khusus dengan otoritas penuh yang mampu mengelola seluruh aspek penyelenggaraan haji, dari keuangan, perencanaan layanan, hingga penyelesaian masalah di lapangan.


“BPH saat ini ruang geraknya terbatas karena hanya merupakan badan di bawah Kemenag. Kita butuh lembaga yang berdiri sendiri dan kuat, seperti Kementerian Haji dan Umrah, agar bisa bergerak cepat dan efisien,” tegasnya.


Sebagai negara dengan jumlah jemaah haji terbanyak di dunia, Indonesia harus mengambil peran kepemimpinan dalam modernisasi tata kelola haji. Salah satunya, menurut Ning Lia, adalah revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 agar sesuai dengan tantangan zaman, termasuk percepatan digitalisasi layanan.


“Digitalisasi adalah keniscayaan. Banyak calon jemaah—terutama lansia—kesulitan mengurus administrasi. Kita butuh sistem terintegrasi yang mempermudah proses dari awal sampai akhir, termasuk pendaftaran, pembayaran, manasik, hingga keberangkatan,” paparnya.


Ning Lia juga menyoroti keterbatasan peran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang hanya mengelola dana tanpa kewenangan langsung terhadap pelayanan operasional di Arab Saudi. Padahal, pelayanan di lapangan—seperti katering, akomodasi, transportasi, dan fasilitas kesehatan—sangat menentukan kualitas ibadah jamaah.


Ia meyakini, gagasan pembentukan Kementerian Haji dan Umrah selaras dengan visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan reformasi birokrasi yang efektif dan berdampak langsung pada masyarakat.


“Pak Presiden ingin birokrasi yang ramping, efisien, dan tepat sasaran. Pembentukan kementerian ini akan memudahkan koordinasi dengan Pemerintah Arab Saudi dan memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi layanan haji,” ujarnya.


Mengakhiri pernyataannya, Ning Lia menekankan bahwa penyelenggaraan haji bukan semata urusan teknis, melainkan menyangkut aspek spiritual yang sangat sakral bagi umat Islam.


“Haji itu rukun Islam kelima, ibadah yang bagi banyak orang hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup. Negara punya tanggung jawab moral memastikan ibadah ini berlangsung dengan khusyuk, aman, dan nyaman,” pungkasnya. (Had) 

Bagikan:

Komentar