![]() |
| Ning Lia Istifhama, Anggota DPD RI asal Jawa Timur.(Dok/Istimewa). |
Salah satu figur yang mencuri perhatian adalah Senator Lia Istifhama. Aktivis, politisi sekaligus akademisi itu punya gagasan luas tentang otonomi daerah berkeadilan dan pembangunan berkelanjutan berbasis nilai-nilai spiritual mulai menginspirasi kalangan muda dan santri di berbagai daerah.
“Kalau mau sukses, belajarlah kepada orang yang sudah sukses. Jangan belajar dari yang gagal dan ruwet. Belajar langsung, one shot one goal. Pikiran itu harus segera konek dengan realitas,” ujar Ning Lia, Selasa (28/10/2025).
Ucapan itu menggema di tengah generasi muda yang kini berhadapan dengan tantangan algoritma sosial, yaitu perubahan cepat dalam preferensi publik akibat digitalisasi dan kecerdasan buatan. Senator asal Jatim itu mengingatkan, memahami algoritma masyarakat sama pentingnya dengan memahami otonomi daerah keduanya menyangkut keadilan dalam pembagian sumber daya, termasuk untuk rumah sakit, infrastruktur, dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Dalam perspektif Ibnu Khaldun, peradaban tumbuh karena kekuatan asabiyyah (solidaritas sosial) yang menumbuhkan kemajuan politik, ekonomi, dan moral. Lia tampaknya menerjemahkan konsep ini ke konteks modern Indonesia. Otonomi berkeadilan bukan sekadar desentralisasi administratif, melainkan penguatan kohesi sosial antarwilayah agar tidak terjadi ketimpangan antara pusat dan daerah.
Seperti asabiyyah yang memperkuat dinasti, Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai versi ARCI itu menekankan pentingnya solidaritas daerah dan keberpihakan terhadap masyarakat akar rumput. Pembangunan, katanya, bukan hanya soal fisik, tapi juga pendidikan dan spiritualitas yang menopang daya saing manusia.
Jika pada 1928 para pemuda menyatukan diri lewat Sumpah Pemuda, kini generasi digital perlu bersatu dalam solidaritas algoritmik memahami preferensi publik, data, dan arus informasi untuk membangun narasi kebaikan. Santri, dengan latar pendidikan moral dan disiplin spiritual, memiliki potensi besar menjadi penggerak transformasi ini.
Ning Lia melihat santri dan pemuda sebagai garda baru pembangunan. Mereka bukan hanya penerima manfaat, tetapi aktor yang mampu mengarahkan sistem menuju keberlanjutan. Nilai-nilai ijtihad dan ikhlas santri dikombinasikan dengan kreativitas digital pemuda, menjadi kekuatan baru yang sejalan dengan teori Ibnu Khaldun tentang siklus peradaban bahwa kebangkitan terjadi ketika moralitas dan ilmu pengetahuan bersatu.
Ning Lia juga mengkontruksi pemikiran filosof Norman Fairclough. Menurutnya, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arena pertarungan ideologi. Dalam konteks ini, wacana “pembangunan berkeadilan” yang digaungkan Lia Istifhama membentuk praktik sosial baru menggeser paradigma pembangunan dari “pemerataan administratif” menuju “keadilan substantif”.
Melalui tutur katanya yang lugas namun sarat makna spiritual, Ning Lia meyakini pemuda menjadi alternatif di tengah politik pembangunan yang sering teknokratis. Ia menjembatani antara idealisme kaum muda dan realitas birokrasi daerah sekaligus menegaskan bahwa keberlanjutan sejati dimulai dari kesadaran moral dan solidaritas sosial.
Ning Lia mengingatkan momen Sumpah Pemuda dan Hari Santri bukan sekadar seremonial sejarah, tetapi pengingat bahwa bangsa ini berdiri di atas semangat belajar, bersatu, dan berjuang. Gagasan Senator Lia Istifhama menghidupkan kembali ruh itu bahwa keberlanjutan sejati lahir dari keadilan, spiritualitas, dan keberanian berpikir maju. "Sebagaimana pesan Ibnu Khaldun, “bangsa akan bertahan selama moralnya tegak,” dan seperti kata Fairclough, “bahasa bisa mengubah dunia.” Maka, ketika pemuda dan santri bersatu dalam visi otonomi berkeadilan, Indonesia sedang menulis bab baru dalam sejarah peradabannya," harap Senator Cantik tersebut. (Had)


Komentar