|
Menu Close Menu

Riset MBG Atau Negara Bakal Rugi

Jumat, 10 Oktober 2025 | 08.27 WIB


Oleh Ach. Zainuddin

( Pimpinan Umum LPM Retorika Universitas PGRI Sumenep sekaligus Sekjen PPMI Nasional


Lensajatim.id, Opini-Belakangan ini, muncul berbagai sorotan terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Program yang semula diharapkan mampu meningkatkan kualitas gizi masyarakat, khususnya anak-anak, justru memunculkan sejumlah persoalan di lapangan.


Banyak penerima manfaat mengaku tidak mendapatkan hasil yang sesuai harapan, bahkan merasa dirugikan karena munculnya kasus-kasus gangguan kesehatan. Tujuan awal program untuk memperbaiki gizi anak bangsa tampaknya belum sepenuhnya tercapai, mengingat adanya laporan insiden keracunan makanan di berbagai daerah.


Sejak program ini mulai dijalankan pada Januari 2025, tercatat ribuan penerima manfaat mengalami gejala keracunan. Berdasarkan beberapa laporan, sedikitnya 5.000 hingga 8.000 orang terdampak. Bahkan, Kementerian Kesehatan menemukan hanya 34 dari 8.583 dapur penyedia MBG yang benar-benar memiliki sertifikat higienitas sesuai standar, meskipun sertifikasi tersebut diwajibkan.


Melihat kondisi ini, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh sebelum melanjutkan program tersebut. Terlebih, anggaran yang digunakan cukup besar dan berpotensi mengurangi alokasi bagi program prioritas lainnya. Selain itu, muncul kekhawatiran dan trauma di masyarakat akibat sejumlah permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan MBG.


Kritik ini bukan untuk menolak semangat pemerintah dalam memperbaiki gizi masyarakat, melainkan sebagai pengingat agar kebijakan yang dijalankan benar-benar terencana, terukur, dan memiliki dasar hukum yang kuat. Setiap program seharusnya memperhatikan berbagai aspek, mulai dari sosial, ekonomi, hingga politik anggaran, agar tidak menimbulkan “kecelakaan kebijakan” yang justru merugikan rakyat.


Selain itu, perhatian terhadap sektor pendidikan juga tidak kalah penting. Kondisi pendidikan di Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara maju seperti Tiongkok dan Finlandia. Dengan besarnya anggaran yang terserap oleh program MBG, efisiensi di berbagai sektor, termasuk kesehatan, ekonomi, dan pendidikan, menjadi hal yang patut diperhitungkan kembali.


Oleh karena itu, langkah bijak bagi pemerintah adalah melakukan riset dan evaluasi mendalam terhadap efektivitas program MBG. Apabila terbukti memberikan manfaat nyata, tentu layak untuk dilanjutkan dengan perbaikan sistem. Namun, jika justru menimbulkan lebih banyak persoalan, maka penghentian sementara untuk perbaikan menyeluruh bisa menjadi pilihan yang lebih bijak demi kepentingan masyarakat luas.

Bagikan:

Komentar