![]() |
| Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR RI saat menjadi narasumber dalam diskusi di Cafe Naras, Kota Padang.(dok/Istimewa). |
Hal itu disampaikan Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, dalam acara Refleksi 80 Tahun Sumatra Barat yang digelar di Cafe Naras, Kota Padang, Sabtu (4/10/2025).
“Kalau tidak ada orang Minang, tidak ada Indonesia,” ujar Willy disambut tepuk tangan hadirin.
Willy menegaskan, ungkapan itu bukan sekadar pujian, tetapi bentuk kesadaran historis atas kontribusi besar intelektual Minangkabau terhadap berdirinya Republik Indonesia.
Sejak awal abad ke-20, lanjutnya, Tanah Minang dikenal sebagai epistemic community—komunitas pemikiran yang menempatkan akal sebagai panglima. Dari surau tradisional hingga sekolah modern, lahir para cendekiawan dan pemimpin pembaharu.
Ia menyebut deretan nama besar seperti Haji Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Buya Hamka, sebagai bukti nyata bahwa Minangkabau adalah tanah ide dan intelektualitas.
“Mereka adalah manusia idea, yang dengan pena dan pikirannya menembus batas ruang dan zaman,” tutur Willy.
Willy mengutip karya monumental Tan Malaka, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), yang menegaskan bahwa pikiran adalah senjata paling tajam.
Menurutnya, semangat berpikir kritis, rasional, dan berani berbeda merupakan warisan intelektual Minangkabau yang harus terus dijaga.
“Restorasi bukan slogan politik, tetapi ikhtiar mengembalikan kejernihan berpikir dan moral bangsa, nilai-nilai yang sejatinya telah lama hidup dalam tradisi Minangkabau,” jelasnya.
Willy juga menyoroti budaya khas Minang, yakni ‘cemeeh’ atau ledekan cerdas yang menjadi ciri komunikasi masyarakatnya.
“Cemeeh bukan sekadar ejekan, tetapi mekanisme sosial yang merawat akal sehat,” katanya.
Dengan cemeeh, masyarakat Minang terbiasa berpikir kritis, tahan banting, dan tidak mudah tersinggung. Ia bahkan menyarankan agar budaya ini dijaga dan dikembangkan.
“Rawatlah cemeeh dengan baik. Kalau perlu, adakan lomba cemeeh!” ujarnya yang disambut tawa audiens.
Dalam perspektif antropologi budaya, cemeeh adalah bentuk kritik sosial egaliter, alat untuk mengontrol arogansi, serta menumbuhkan kepekaan intelektual dan sosial masyarakat.
Willy menekankan bahwa masyarakat Minangkabau tidak bisa disatukan hanya oleh faktor ekonomi atau politik. Yang menyatukan mereka, katanya, adalah nilai, pikiran, dan budaya.
“Masyarakat Minang itu dinamis dan egaliter. Tidak bisa diseragamkan, tapi dikelola dalam keragaman nilai,” ujarnya.
Hal itu, menurut Willy, sejalan dengan teori pluralisme sosial-budaya Clifford Geertz. Nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah menjadi simpul pemersatu yang meneguhkan jati diri Minangkabau.
“Inilah kekuatan demokrasi kultural Minang — kebebasan berpikir dan berdebat yang dijalankan dengan sopan dan beradab,” imbuhnya. (Had)


Komentar