![]() |
| Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR RI.(Dok/Istimewa). |
Kondisi tersebut, menurut Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, membuat saksi dan korban tidak berdaya menyampaikan kebenaran substantif dalam suatu perkara hukum.
“Salah satu kuncinya ada di pembahasan RUU KUHAP saat ini. Masalahnya, revisi UU tersebut seperti tidak mengakomodir perspektif korban,” ujar Maidina saat audiensi dengan Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Ia menegaskan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem peradilan di Indonesia. Namun, tantangan terbesarnya terletak pada perbedaan paradigma di antara para pembuat kebijakan dan penegak hukum terkait posisi strategis saksi dan korban.
Menanggapi hal itu, Willy Aditya menegaskan pentingnya perubahan paradigma hukum yang lebih berpihak kepada korban. Ia menyebut, sistem hukum nasional perlu mengafirmasi posisi saksi dan korban sebagai elemen krusial bagi terbangunnya keadilan sosial.
“Dengan cara pandang semacam itu, kita menempatkan saksi dan korban pada martabat yang lebih tinggi. Paradigma ini adalah bagian dari pemenuhan hak asasi manusia,” jelas Willy dalam keterangannya, Kamis (16/10/2025).
Willy menilai, arah revisi undang-undang harus selaras dengan Hasta Cita Pemerintahan Prabowo, terutama dalam memperkokoh ideologi Pancasila, negara hukum, dan perlindungan HAM.
“Oleh karena itu, isu perlindungan saksi dan korban harus menjadi bagian fundamental dan integral dari sistem peradilan pidana kita. Ini kuncinya!” tegasnya.
Lebih jauh, Willy menilai paradigma keadilan di Indonesia selama ini masih retributif, di mana hukum lebih fokus pada pelaku. Padahal, sistem hukum modern perlu mengedepankan restorative justice, sebuah pendekatan yang memulihkan hak-hak korban sekaligus menjaga keseimbangan sosial.
“Jadi hukum juga harus berpihak kepada korban. Tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan hak-hak mereka,” tandasnya.
Menurutnya, dengan paradigma baru tersebut, posisi LPSK menjadi sangat relevan dalam memperkuat tata kelola peradilan yang berkeadilan dan berperspektif korban.
Selain itu, Willy juga menyoroti pentingnya meaningful participation dalam proses legislasi. DPR, katanya, kini berupaya membuka ruang dialog seluas mungkin agar publik, termasuk lembaga terkait, dapat terlibat aktif dalam pembahasan rancangan undang-undang.
“Kami ingin agar pembahasan undang-undang ini menjadi produk bersama, yang manfaat dan kredibilitasnya bisa dirasakan oleh semua pihak,” ujar Willy.
Sebagai bagian dari penguatan edukasi publik, Willy bahkan mendorong LPSK untuk menggandeng tokoh masyarakat dan figur publik sebagai duta saksi dan korban. Langkah itu diharapkan mampu memperluas pemahaman masyarakat sekaligus meningkatkan kepercayaan diri bagi para korban dan saksi untuk mencari keadilan. (Red)


Komentar