![]() |
| Ilustrasi.(Dok/Istimewa). |
Plt Camat Batuputih melalui Kasi Pemerintahan, Tolak, membenarkan bahwa pihak kecamatan telah memanggil Kepala Desa Badur, Atnawi, untuk dilakukan pembinaan terkait persoalan tersebut. Namun, panggilan resmi yang dilayangkan pada awal Oktober 2025 itu tidak dihadiri langsung oleh sang kepala desa.
“Surat pemanggilan itu bersifat pribadi dan tidak boleh diwakilkan. Kami sudah koordinasikan sejak 2 Oktober 2025, tapi yang datang hanya dua perangkat. Padahal ini menyangkut penyelenggaraan pemerintahan desa yang tidak bisa ditunda,” tegas Tolak, Selasa (11/11/2025).
Ia menjelaskan, proses pembinaan biasanya berawal dari laporan pihak desa kepada kecamatan. Namun, Desa Badur dinilai pasif dan justru menunggu teguran dari atasan.
“Kecamatan wajib melakukan pembinaan, tetapi semestinya desa juga aktif melapor. Jangan menunggu dipanggil baru bereaksi,” ujarnya.
Berdasarkan Pasal 3 Perbup Sumenep No. 8 Tahun 2020, kepala desa diwajibkan mengisi jabatan perangkat desa yang kosong maksimal dua bulan setelah terjadi kekosongan. Selain itu, pengangkatan perangkat harus melalui seleksi transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1).
Namun hingga akhir tahun 2025, jabatan penting di Desa Badur masih belum terisi. Kondisi ini disebut sebagai bentuk kelalaian administratif dan berpotensi melanggar prinsip good governance di tingkat desa.
Praktisi hukum asal Sumenep, Emil Ma’ruf Wahyudi, S.H., M.H., menilai tindakan kepala desa tersebut dapat dikategorikan pembiaran.
“Perbup itu sudah sangat jelas. Kalau kepala desa tidak segera menindaklanjuti, berarti ada unsur pembiaran yang berdampak langsung pada pelayanan publik,” ujarnya.
Emil menambahkan, berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala desa yang tidak melaksanakan kewajibannya dapat dikenai sanksi administratif mulai dari teguran hingga pemberhentian.
“Bupati sebagai pembina dan pengawas penyelenggaraan pemerintahan desa harus turun tangan menegakkan aturan agar tidak menjadi aturan mati,” tegasnya.
Kondisi ini berdampak nyata di lapangan. Sejumlah warga mengaku kesulitan mengurus berbagai layanan dasar, mulai dari surat menyurat, distribusi bantuan sosial, hingga koordinasi kegiatan pembangunan desa.
“Kami heran kenapa jabatan dibiarkan kosong begitu lama. Ini bukan cuma urusan administrasi, tapi menyangkut hak warga untuk dilayani,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Tokoh muda setempat, AS, bahkan menilai kebijakan kepala desa selama ini cenderung tertutup dan diskriminatif.
“Kalau terus dibiarkan, bisa menimbulkan konflik sosial karena masyarakat merasa tidak punya saluran aspirasi,” ungkapnya.
Gelombang kritik dari warga kini mengarah ke Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo. Mereka meminta bupati segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kepemimpinan Kepala Desa Badur.
“Kami hanya ingin pelayanan kembali normal, perangkat diisi sesuai mekanisme, dan pemerintahan desa berjalan sesuai aturan Perbup No. 8 Tahun 2020,” ujar salah satu tokoh masyarakat.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Badur, Atnawi, belum memberikan keterangan resmi. Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, yang bersangkutan belum merespons, meski terpantau pesan telah centang dua. (Yud)


Komentar