![]() |
| Ning Lia Istifhama, Anggota DPD RI asal Jawa Timur.(Dok/Istimewa). |
Menanggapi kasus tersebut, Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama, mengimbau masyarakat untuk bersikap bijak serta tidak terjebak pada konflik horizontal. Ia menekankan pentingnya mengawal proses hukum secara objektif dengan menempatkan fokus pada aktor utama yang diduga berada di balik peristiwa tersebut.
Menurut Lia Istifhama, terdapat pola berulang dalam sejumlah kasus sengketa tanah yang selama ini terjadi. “Sering kali pemilik merasa tidak pernah menjual, tetapi di sisi lain muncul pihak yang mengaku telah membeli. Ketidaksinkronan ini patut ditelusuri secara serius karena di situlah biasanya praktik kejahatan terorganisir bekerja,” ujarnya.
Senator asal Jawa Timur yang kerap disapa Ning Lia itu menilai, kasus Nenek Elina bukanlah peristiwa tunggal. Ia menyebut masih banyak masyarakat kecil yang berada pada posisi rentan ketika berhadapan dengan persoalan hukum pertanahan. Karena itu, ia mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi hingga terjadi adu domba antarwarga.
“Yang perlu dikedepankan adalah penelusuran aktor intelektualnya. Jangan sampai masyarakat saling berhadapan, sementara pihak yang seharusnya bertanggung jawab justru tidak tersentuh,” tegas alumnus program doktoral UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut.
Pernyataan tersebut, lanjut Ning Lia, juga berangkat dari pengalaman pribadinya. Ia mengungkapkan bahwa keluarga besarnya pernah menghadapi persoalan serupa, di mana transaksi yang terjadi sejatinya merupakan pinjam-meminjam dengan jaminan sertifikat, namun dikonstruksikan seolah-olah sebagai jual beli tanah dan bangunan.
Kasus tersebut telah diputus secara berkekuatan hukum tetap melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3943 K/Pdt/2023, yang menegaskan bahwa Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) dan kuasa menjual yang dipersoalkan bukanlah bukti transaksi jual beli, melainkan bagian dari hubungan hutang-piutang dengan jaminan. Mahkamah Agung juga menilai dalil penggugat tidak koheren dan tidak didukung fakta hukum yang kuat.
Dalam perkara itu, pemilik sah tetap menempati rumah sebagai satu-satunya tempat tinggal, tidak pernah menerima uang jual beli, serta tidak pernah terjadi serah terima fisik objek. Pola tersebut, menurut Ning Lia, memiliki kemiripan dengan kasus yang kini dialami Nenek Elina.
“Jika benar terjadi jual beli, maka perlu dijelaskan secara terang bagaimana prosesnya, termasuk penguasaan fisik dan penyerahan objek. Fakta-fakta seperti ini tidak boleh diabaikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Ning Lia mendorong aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus pertanahan secara komprehensif dan transparan, mulai dari penelusuran peran perantara, keabsahan dokumen, hingga dugaan rekayasa transaksi. Ia juga meminta negara hadir memberikan perlindungan hukum bagi warga lanjut usia dan masyarakat kecil.
“Ini bukan semata sengketa tanah, melainkan persoalan keadilan sosial dan kemanusiaan. Hukum harus menjadi pelindung, bukan sumber ketakutan,” pungkasnya.
Sebelumnya, kasus Nenek Elina di Dukuh Kuwukan, Kelurahan Lontar, Surabaya, menyita perhatian publik setelah rumah yang ditempatinya sejak 2011 diratakan dengan alat berat. Pengusiran tersebut didahului klaim kepemilikan oleh pihak tertentu yang menyatakan telah membeli tanah dan bangunan tersebut.
Peristiwa itu mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah Kota Surabaya. Aparat kepolisian saat ini masih melakukan penyelidikan untuk mengungkap duduk perkara secara menyeluruh. Sementara itu, Nenek Elina dilaporkan tinggal sementara di sebuah rumah kos di wilayah Balongsari, Surabaya, sambil menunggu proses hukum berjalan. (Red)


Komentar