|
Menu Close Menu

Balada Kegagalan Cinta Faida

Sabtu, 02 Januari 2021 | 23.24 WIB

 


Oleh : Hairul Ulum


Pada saat melihat seorang tokoh turun gunung menggalang massa dan berorasi di panggung aksi demontrasi, pasti ia seorang pemberani dan bersedia untuk menempuh jalan tak populer di mata masyarakat. Tokoh kita yang satu ini terlihat sibuk memberikan instruksi langsung pada sekelompok orang yang mendukung aksi mosi tidak percaya Aparatur Sipil Negara (ASN) terhadap Bupati dr Hj Faida MMR.

 

Dialah KH MA Saiful Ridjal Abdul Halim Shiddiq, cucu KH Muhammad Shiddiq yang melahirkan "Dinasti Politik Talangsari". Sebuah klan kiai darah biru yang banyak melahirkan para tokoh pergerakan nasional dari Jember. Sebut saja KH Mahfudz Shiddiq (Ketua Umum PBNU) dan KH Achmad Shiddiq  (Rois Aam PBNU) adalah pamandanya yang menjadi motor penggerakan NU di masa awal pendiriannya, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.


Gus Saif panggilan akrabnya, lahir Jember, 28 Juli 1955. Putra lelaki dari KH Abdul Halim Shiddiq dan Nyai Muzayyanah. Ia adalah mantan Ketua NU Cabang Bondowoso yang menjalankan tugas dan fungsi jam'iyah  ala Non Goverment Organization (NGO).  Di sekelilingnya, banyak aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan bahkan ia melakukan advokasi dan fasilitasi dalam  mewujudkan good and clean goverment (pemerintah yang baik dan bersih) di Kabupaten produsen tape tersebut. 


Sampai saat ini, hubungan Gus Saif dengan aktivis LSM sangatlah dekat. Pondok Pesantren Ashri acapkali dijadikan pusat gerakan antikorupsi yang concern terhadap kasus korupsi yang menyeruak di birokrasi maupun parlemen. Abdul Rahman, penulis buku: "Guru Ngaji. Masyarakat dan Pemimpin Yang Baik (Menuju Reformasi Kultural), menyebut Gus Saif sebagai tokoh non compromize (tidak kompromi) terhadap praktek korupsi apapun, hatta yang menjerat sanak familinya sendiri. Integritasnya sudah teruji sebagai kiai penggiat antikorupsi di ujung timur Pulau Jawa.


Oleh karena itu, Gus Saif bukan hanya tampil di mimbar-mimbar agama, bukan hanya dikenal sebagai penceramah di dalam maupun luar Jember, akan tetapi dianggap sebagai sesepuh yang akomodatif dan loyal terhadap aktivis LSM. Semua itu dalam rangka menjaga spirit keagamaan dan kebangsaan dalam gerakan parlemen jalanan.  


Gus Saif menyadari gerakan parlemen jalanan merupakan perwujudan civil society yang beresiko berhadapan-hadapan dan berlawanan dengan negara. Sebab, sejatinya, dalam konsep Thomas Paine, civil society itu merupakan gerakan perlawanan terhadap lembaga negara. Demikian pula dalam konsep Alexis de Tocqueville, civil society sebagai gerakan penyeimbang kekuatan negara.


Masyarakat sipil merupakan antitesis dari kekuasaan negara yang cenderung disalahgunakan. Dengan begitu, kehadiran gerakan parlemen jalanan ala Gus Saif sangatlah diperlukan untuk mengontrol pemerintah, sehingga tetap berjalan di atas rel. Rakyatlah akhirnya yang diuntungkan. Seluruh sumberdaya kekuasaan akan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Tanpa kontrol, sudah pasti rezim penguasa semau gue. Dengan kontrol yang kuat saja perjalanan pemerintah Jember jauh dari harapan. Apalagi tidak, daerah pasti kebobolan dengan moral hazard yang rendah dari para pemimpinnya.


Sebab, senyatanya praktek Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) merupakan sesuatu yang lumrah dan kaprah dalam pemerintahan sejak zaman kolonial sampai dengan sekarang. Inilah yang menjadi fokus perjuangan Gus Saif selama 20 tahun terakhir. Harapannya, pemerintah menjalankan fungsi pelayanan publik yang baik, menjadi pamong praja yang mengayomi rakyat tanpa terkecuali. Negara pasti akan dirasakan kehadirannya oleh rakyat. Kebijakan dan anggaran pemerintah dapat dinikmati oleh rakyat sebagai kue pembangunan yang adil dan merata.


Konflik Gus Saif vs Bu Faida, bukan soal pribadi melainkan masalah relasi masyarakat sipil dan kekuasan negara. Dua pemimpin non formal dan formal ini gagal menjaga momentum kebersamaan dan kemesraan. Sebab, proses kandidasi, rekomendasi dan pemenangan Bu Faida tak lepas dari campur tangan Gus Saif.


Segar dalam ingatan publik, Bu Faida waktu mendaftarkan diri menjadi calon bupati yang diusung oleh PDIP, Partai NasDem, PAN dan Hanura pada 2015, berangkat dari Pondok Pesantren Ashri asuhannya. Titik pemberangkatannya ini bentuk kepercayaan dan harapan, agar pondok pesantren sebagai inti kekuatan masyarakat sipil di Jember dilibatkan secara aktif. Bisa berbentuk partisipasi visi, bisa partisipasi aksi, dan bisa pula partisipasi koreksi dalam pembangunan daerah.


Sayangnya, indahnya kebersamaan Gus Saif vs Bu Faida, tak berlangsung lama. Bulan madu keduanya tak sampai satu haul. Pasca Bu Faida dilantik 17 Februari 2016, lambat laun posisi Gus Saif semakin menjauh dari Pendopo Wahyawibawa graha. Dalam kurun waktu 2016-2017, semakin hari komunikasinya semakin memburuk. Gus Saif merasa sebagai penyambung lidah rakyat pada penguasa tak berguna lagi. Sementara, ia sebagai orang yang pertama mendukung Bu Faida, merasa banyak aspirasi yang dipikul di pundaknya mengalami deadlock.


Di tengah kesunyian malam, Gus Saif merenungi nasib, rezim tak membutuhkan peran dan kiprahnya sebagai inner circle kekuasaan, akhirnya bulat mundur dari Ketua Dewan Pertimbangan Partai NasDem Jember pada  11 Januari 2017, dan kembali mengomandani gerakan parlemen jalanan terhadap rezim Bu Faida.


Bersama dengan kekuatan LSM, pers dan masyarakat kontra Bu Faida, Gus Saif berulang-ulang memimpin aksi demonstrasi berjilid-jilid, dan membongkar kepalsuan Bu Faida. Laman media sosial penuh dengan data kebobrokan pemerintah daerah. Mulai dari A sampai Z, mismanagement pemerintahan dibeber dengan telanjang, sembari dengan kritik yang penuh sarkasme. Bu Faida semula tegar bak tumpukan karang yang kekar dalam menghadapi kekuatan oposisi jalanan, namun belakangan, kian mendekati pemilihan, kelihatan semakin kelimpungan. Terutama pasca cuti kampanye.


Kendati diunggulkan di berbagai survey, takdir yang diimani Bu Faida berbicara lain. Meski 2 hari sebelum coblosan, permohonan pemakzulan DPRD atas Bu Faida ditolak oleh MA, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi mayoritas menolak mencoblos calon yang katanya direkom rakyat. Faida kalah atas Haji Hendy-Gus Firjaun di atas 161 ribu atau setara 15 persen lebih. Kisah gerakan perlawanan Gus Saif ini seperti judul lagu Rhoma Irama: Kegagalan Cinta.

 

 "Cukup sekali aku merasa

Kegagalan cinta

Takkan terulang kedua kali

Di dalam hidupku

Ho.. Ho.. Ya nasib ya nasib

Mengapa begini

Baru pertama bercinta

Sudah menderita

Cukup sekali aku merasa

Kegagalan cinta

Takkan terulang kedua kali

Di dalam hidupku


Reff:

Kau yang mulai kau yang mengakhiri

Kau yang berjanji kau yang mengingkari

Kau yang mulai kau yang mengakhiri

Kau yang berjanji kau yang mengingkari

Kalau tahu begini akhirnya

Tak mau dulu ku bermain cinta"


Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik Jember dari Desa Kaliglagah Sumberbaru, di bawah lereng Gunung Argopura.

Bagikan:

Komentar