|
Menu Close Menu

Depolitisasi Birokrasi

Jumat, 15 Januari 2021 | 08.52 WIB



Oleh : Hairul Ulum


Pasca Pilkada 9 Desember 2020, tatanan birokrasi di Jember kian amburadul. Pertama dalam sejarah, terjadi dualisme pejabat di berbagai organisasi perangkat daerah (OPD). Pasalnya, Bupati dr Hj Faida, MMR memPLTkan pos penting birokrasi, meski Kemendagri sudah melarang keras memutasi pejabat sebelum pelantikan bupati terpilih di pertengahan Februari 2021.


Sekda diPLT, sedangkan sekda definitif bekerja seperti biasa, dengan back up penuh dari wakil bupati, DPRD, gubernur dan Kemendagri. Di Kecamatan Mumbulsari misalnya, dualisme jabatan camat diselesaikan dengan cara voting. Ada juga yang mangkir, sama-sama tak masuk kantor, dan seterusnya.


Akibat semua itu, Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai Tidak Tetap (PTT), Guru Tidak Tetap (GTT), harus ikut menanggung ekses negatif dari prahara konflik bupati vs dewan, bupati vs birokrat, bupati vs gubernur, bupati vs  mendagri. Ternyata sampai detik ini, mereka tak menerima gaji yang merupakan upah bagi pribadi dan keluarganya.


Siapa yang harus bertanggungjawab atas krisis politik birokrasi ini? Barangtentu, bupatilah sebagai orang nomor satu di Jember ini. Tapi bupati pasti tak mau dipersalahkan sendirian. Semua punya andil memperburuk situasi di Jember. Bab pertama secara teoritis, adalah perihal politisasi birokrasi oleh pejabat politik untuk meraih suara elektoral pada pemilu, baik pileg, pilpres maupun pilkada.


Pejabat politik seringkali menyeret birokrasi ke arena kompetisi satu pihak, dan birokrasi gemar bermain api di pihak lain, yang menyulitkan melerai  birokrasi dengan politik. Larangan birokrasi berpolitik disiasati dengan menghindari panggung publik saja, sementara, di belakang panggung, mereka berdesak-desakan dengan tim kampanye untuk mendapatkan tempat pemenangan calon.


Birokrasi yang netral dan profesional, tak ubahnya hanya lips service semata. Padahal, para perancang paket undang-undang politik, melarang birokrasi terlibat atau dilibatkan dalam arena kampanye, agar birokrasi tetap fokus menjalankan fungsi public service terhadap masyarakat. Sehingga, apa pun yang terjadi di panggung depan atau belakang politik, tak berpengaruh, sebab birokrasi tetap berjalan dengan baik. Disinilah, kata Yudi Latief, birokrasi menjalankan fungsi power of four state (kekuatan keempat negara) dalam menjalankan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.


Sekarang, birokrasi lebih menjadi mesin kekuasaan daripada mesin negara. Sehingga, setiap pemilu selalu terseret dalam arus dukung mendukung. Ongkos yang harus dibayar, posisi birokrasi tak pernah kuat dan kokoh atas intervensi pejabat politik. Birokrasi ikut gonjang-ganjing mengikuti prahara konflik kekuasaan.


Dalam konteks Jember, Pj Bupati Sjahrazad Masdar (2005), melakukan pelurusan peran birokrasi dalam Pilkada 2005. Suatu pilkada langsung pertama, yang mencegah mobilisasi birokrasi pada calon petahana, Bupati Samsul Hadi Siswoyo pada waktu itu. Keterlibatan camat dalam Abah Samsul Centre (ASC) yang merupakan mesin pemenangan Bupati Samsul, diobrak-abrik melalui mutasi besar-besaran. Langkah strategis Pj Bupati Masdar dikandung maksud, agar kedepannya birokrasi menjaga netralitas dan profesionalitasnya pada saat atau di luar waktu pilkada.


Abdur Rahman, memotret manuver Pj Bupati Masdar di atas dalam buku berjudul: "Meluruskan Peran Birokrasi dalam Pilkada (Langkah-langkah Sjahrazad Masdar Menegakkan Netralitas Birokrasi dalam Pelaksanaan Pilkada Jember)". Sayangnya, cerita heroik penegakan netralitas birokrasi tersebut, bak kisah roman kekuasaan dalam cerita fiksi. Pada pilkada berikutnya, birokrasi kembali "berpolitik" dan menjadi kekuatan inti pemenangan MZA Djalal, Sugiarto dan Faida.


Memang selama Orde Baru, birokrasi merupakan salah satu pilar kekuasaan Soeharto dan Golkar, selain ABRI dan golongan karya, yang lazim disebut dengan ABG (ABRI, Birokrasi, Golkar). Wajar, bila birokrasi acapkali terlibat atau dilibatkan dalam pergerakan mesin pemenangan calon. Regenerasi di tubuh birokrasi gagal menghilangkan watak partisan. Kendati, warga bangsa menginginkan birokrasi menjauhi politik praktis. Sampai kapan permainan politik birokrasi memakan anak kandungnya sendiri? Biarkan sejarah yang menjawabnya.


Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik (Human Responbility)

Bagikan:

Komentar