|
Menu Close Menu

Menyongsong NU dan Indonesia Emas

Rabu, 20 Januari 2021 | 20.00 WIB

 


Oleh  : Moch Eksan


NU emas terkait dengan Indonesia emas. NU lebih dulu memasuki masa 100 tahun, dan setelah itu baru Indonesia. Usia 100 tahun dalam timeline, adalah the golden age (masa keemasan). Sebuah masa pencapaian sejarah tertinggi dalam memperolah "kemakmuran". Penggunaan emas sebagai term bermakna metaforis dari periodeisasi sejarah manusia sejak zaman batu, besi, perunggu, perak sampai zaman emas.


Istilah the golden age ini digunakan semenjak zaman Yunani dan Romawi. Peradaban Islam, Eropa dan Amerika pun juga secara altruistik menggunakan term the golden age untuk masa perkembangan dan kemajuan tertinggi di bidang seni, sastra, sains, tehnologi, infrastruktur, ekonomi, hukum dan keadilan.


Ringkasnya, the golden age merupakan episode sejarah yang dirasakan paling berkembang dan paling maju dalam suatu masyarakat. Masa tersebut tak semata terkait dengan usia akan tetapi lebih ditentukan oleh kinerja prima dari suatu organisasi. Include di dalamnya, NU sebagai salah satu pilar utama Indonesia.


NU emas bisa menjadi titik balik sekaligus titik tolak bagi perjalanan NU 100 tahun mendatang. Apa yang sudah dicapai dan apa yang belum, dievalusi dan diproyeksikan sekaligus bersamaan. NU pada 31 Januari 1926 dengan NU 31 Januari 2026, tentu terasa sangat berbeda. Baik situasi, kondisi, umat, kiai, maupun sarana dan prasarananya juga jauh berbeda. 


Dari sekian perbedaan tersebut, ajaran Islam ala ahlisunnah waljamaah yang dilestarikan dan dikembangkan tetaplah sama. Kitab Risalah Ahlussunnah Waljamaah karya Hadratusy Syeikh KH Hasyim Asyari tetap menjadi pedoman jam'iyah dan jama'ah NU. Dari dulu sampai sekarang, pergerakan keagamaan NU kurang lebih sama  berhadap-hadapan dengan gerakan Wahabisme pula dalam aqidah dan syariah.


NU seabad telah melalui pasang surut perjuangan. Hubungan NU dengan kekuasaan juga demikian. Berkah politik NU sudah dinikmati oleh banyak kader NU yang ada di legislatif maupun eksekutif. Kader NU sudah pernah menduduki pucuk pimpinan MPR/DPR. Seperti, KH Idham Cholid tercatat sebagai Ketua MPR/DPR RI (1971-1977). Kader NU juga pernah menjadi kepala negara dan pemerintahan, semisal KH Abdurrahman Wahid yang tercatat sebagai Presiden RI (1999-2001). Demikian pula sekarang ini, KH Ma'ruf Amien sebagai Wakil Presiden (2019-sekarang).


Capain struktural NU ditopang oleh kekuatan kultural NU. Lazim disebut, NU adalah "pesantren besar" dan pesantren adalah "NU kecil". Pesantren modal dasar NU dalam mengembangakan dakwah, pendidikan dan sosial. Cikal bakal berdirinya NU adalah nahdlatul wathan (kebangkitan bangsa), syubbanul wathan (pemuda tanah air) taswirul afkar (kebangkitan pemikiran) dan nahdlatut tujjar (kebangkitan pedagang). Semua organisasi  tersebut, kata Martin Van Bruinessen, tak lepas dari peran KH Wahab Hasbullah sebagai tokoh utama yang telah membidaninya.


Selama kurun waktu 10 tahun, semenjak 1916 sampai dengan 1926, KH Wahab Hasbullah, melahirkan organisasi gerakan nasional dalam pengembangan pendidikan, pemikiran, kepemudaan, dan ekonomi yang bermuara pada berdirinya NU sebagai jam'iyyah diniyah ijtima'iyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan) yang terbesar di dunia sekarang.


Di bawah naungan Rabithah Ma'ahidil Islamiyah (RMI), organisasi badan otonom NU yang menghimpun pesantren NU, sebanyak 14 ribu pesantren yang tersebar di seluruh Nusantara. Jumlah ini 50 persen dari seluruh jumlah pesantren Indonesia yang mencapai  28.194 dengan 5 juta santri yang bermukim di pesantren itu.


Di bawah naungan Lembaga Pendidikan Maarif (LP Maarif), organisasi badan otonom NU ini dalam bidang pendidikan formal, sebanyak 20.236 sekolah dan madrasah yang tersebar di seluruh Tanah Air. Jumlah ini terdiri dari 7.462 sekolah atau setara 39 persen, dan 12.674 madrasah atau 61 persen. Jumlah sekolah NU ini berarti, adalah 1,6 persen dari seluruh sekolah dasar dan menengah Indonesia yang mencapai 450.218. Sedangkan madrasah NU, 15,3 persen dari seluruh madrasah di Indonesia yang mencapai 82.418 buah.


Dan di bawah naungan Lembaga Perguruan Tinggi NU (LPTNU), lembaga yang menangani pendidikan tinggi NU, sebanyak 217 kampus di seluruh Tanah Air. Jumlah PTNU ini sama dengan 10,1 persen dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang mencapai 2.136 PT.


Dalam kerangka sistem pendidikan nasional, kontribusi pendidikan NU sangat jelas. Melalui pesantren yang ada di bawah naungan NU,  menyumbang tak kurang 50 persen lebih bagi pendidikan non formal. Sedangkan, melalui sekolah NU, baik dasar maupun menengah, menyumbang 1,6 persen saja bagi penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Melalui madrasah NU, menyumbang 15,3 persen bagi penyelenggaran pendidikan yang bercirikan agama Islam. Sedangkan, melalui PTNU, menyumbang tak kurang dari 10,1 persen bagi penyelenggaran pendidikan tinggi.


Pendidikan sebagai urusan wajib pemerintah yang bersifat konkuren, mencatat peran serta NU dalam menyelenggaran pendidikan formal dan non formal. Peran serta ini sejalan dengan tujuan berdirinya NU, sebagaimana dalam Khittah NU. Disebutkan: "Nahdlatul Ulama dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tentram, adil dan sejahtera".


Sepertinya, sumbangan individu NU secara kualitatif tak kalah hebat dari sumbangan kolektif NU secara kuantitatif dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Para sarjana NU bertebaran di berbagai profesi dan institusi pemerintah dan masyarakat. Mereka memberikan pengabdian terbaik bagi kemajuan menuju Indonesia Emas pada 2045. Para alumni pesantren, PTNU, dan perguruan tinggi dalam dan luar negeri mengembleng diri menjadi "khaira-ummah" (sebaik-baiknya umat) yang selalu menyerukan kemajuan negeri dan mencegah Indonesia dari negara gagal.


Menyongsong NU emas pada 2026, para kader NU tampak terlihat ada pride (kebanggaan) menjadi warga nahdliyin. Dari stiker ucapan Harlah NU ke-95 tahun di media sosial, bermunculan tagline "Aku Bangga Jadi Warga NU". Adalah bentuk penegasan bahwa kaum nahdliyin Indonesia, punya semangat korsa. Suatu semangat esprit de corps yang pernah dibangun oleh Napoleon Bonaparte. Semangat ini berisi cinta, rasa hormat, kesetiaan, kebanggaan, dan persatuan sesama anggota NU.


Serangan bertubi-tubi terhadap ajaran dan tradisi NU, serta rongrongan terhadap keutuhan NKRI di media sosial maupun di medan laga, telah membentuk solidaritas sosial sesama warga NU. Polarisasi ideologis dan politis menguatkan wacana in group dan out group. Munculnya common enemy dari kekuatan transnasional berbasis agama maupun ekonomi, juga mengokohkan ukhwah nadliyah. 


Di atas semua itu, seluruh warga NU harus menyadari, tak boleh bangga berlebihan, sebab NU memang sudah banyak berbuat, tapi masih lebih banyak yang belum diperbuat sebagai creative minority ala Arnold J Toynbee, apalagi sebagai creative majority yang harus mendatangkan kemaslahatan bersama bagi umat dan bangsa, terutama bidang ekonomi dan lingkungan hidup.


Moch Eksan, Pendiri Eksan Institue

Bagikan:

Komentar