|
Menu Close Menu

Runtuhnya Jember Empire

Sabtu, 16 Januari 2021 | 05.34 WIB



Oleh : Moch Eksan


Jember di detik-detik akhir masa jabatan Bupati dr Hj Faida MMR, seperti imperium pemerintahan sendiri yang tak terkait dengan Kemendagri dan Gubernur Jawa Timur. Instruksi tak dijalankan, rekomendasi tak dihiraukan dan larangan juga tak diindahkan. Faida punya sistem kekuasaan sendiri yang tak tunduk pada rezim pemerintah sentral. 


Jember seperti Sunda Empire, Keraton Agung Sejagad, dan Kesultanan Salaco, yang terobsesi kepemimpinan tunggal yang otoritatif, diterministik dan sentralistik di bawah Faida. Tak boleh ada kekuatan apapun yang membayang-bayangi kekuasaannya. Jember benar-benar dalam genggamannya. Mau hitam, mau putih, semua bergantung pada titah sang pemimpin.


Bupati rakyat ini hanya tunduk pada rakyat yang mendukungnya. Pemerintahan pusat pun boleh dilawan, bila kebijakan menyalahi prinsip 3B (Baik tujuannya, Benar hukumnya, Betul caranya). Kriteria baik, benar dan betul bukan dari pusat dan propinsi, tetapi dari common sense Faida itu sendiri. Politik kebijakan dan anggarannya berdasarkan pada norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan dari bawah yang bersifat buttom up, bukan yang bersumber dari atas yang bersifat top down.


Faida punya proposisi atas pemahaman dan penilaian terhadap segala sesuatu berdasar akal sehatnya sendiri. Yang lain, belum tentu baik, belum tentu benar dan juga belum tentu betul. Sehingga, ia mencurigai siapa pun, apalagi dalam keyakinannya birokrasi merupakan biangkerok dari pungli dan penghamburan uang rakyat.


Maka dari itu, dalam menjalankan pemerintahan, Faida sangat protektif terhadap para pejabat daerah. Semua urusan ditangani sendiri oleh bupati. Deligation of outhority (pendelegasian kewenangan) pada para pembantunya nyaris tak ada. Inovasi dan kreasi akhirnya tak muncul dari birokrasi dalam mengembangkan daerah. Pemda berjalan di tempat, akibat hegemoni yang mematikan akal sehat para pejabat.


Betapa pun Faida kuat ditinjau dari segala segi, ia kata Aristoteles tetap manusia yang merupakan zoon politicon (makhluq sosial), yang tak bisa hidup sendiri. Apalagi dalam menjalankan pemerintahan atas 2,6 juta penduduk Jember. Sudah pasti, susunan pemerintahan Faida menyalahi kodrat demokrasi yang menghendaki paradigma partisipatoris dalam menyusun kebijakan dan anggaran daerah.


Konflik demi konflik yang menyeruak selama perjalanan pemerintahan Faida, sesungguhnya konsekuensi logis dari obsesi pemerintahan yang utopis dan phobia, layaknya para pemimpin empire di atas. Bahwa ia lupa, pemimpin di alam demokrasi, hanya primus interpares (orang pertama dari yang sama).  Kerbersamaan dan kerjasama sangat menentukan kesuksesan dalam mencapai cita-cita bersama.


Dalam membangun kekuasaannya, Faida bertumpu pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Para followersnya tak pernah bertambah, justru jumlah para haters terus naik. Semua lantaran Faida gagal paham dan mismanagement dalam mengelola pemerintahan. Semua gagal mengingatkan, sampai rakyat sendiri yang mengingatkan melalui pemberian suara pada Pilkada Serentak Jember 2020 lalu.


Ironinya, Faida tak sadar bahwa Jember Empire sudah runtuh. Ia tetap unjuk kekuatan, dengan mengotak-atik birokrasi, sampai jabatan sekda menjadi 3. Mirfano Sekda definitif, Edi Budi Susilo PLT Sekda, dan Achmad Imam Fauzi PLH Sekda. Barangkali dalam alam fikirannya, kebijakan tersebut merupakan uji coba manajemen konflik untuk mendapatkan seorang pejabat yang setia, kuat dan mendapat dukungan luas dari birokrasi.


Faida alpa, bahwa dirinya sudah game over, mirip film Game Over. Dimana ada seorang wanita menderita nyctophobia yang harus melawan iblis dalam dirinya untuk tetap hidup dalam permainan. Nyctophobia adalah ketakutan ekstrim pada kegelapan atau malam. Wanita tersebut mengalami trauma kasus pembunuhan berantai. Yang membuat ia bertahan adalah cinta dan keinginan untuk memecahkan rekor permainan Pac-Man.


Bagaimana pun, kekalahan drg Abdul Rochim MKes, MMR pada pileg dan kekalahan Faida pada pilbup, menimbulkan trauma mendalam. Kekalahan tersebut diyakini sebagai suratan takdir, ia tetap ingin menghidupkan kartu politiknya kembali. Cinta pada kaum dhuafa dan keinginan memecah rekor kemenangannya pada Pilbup 2015, yang membuat ia bertahan walau diliputi ketakutan ekstrim terhadap "kegelapan" hidup pasca keluar dari Pendopo Wahyawibawa Graha.


Sekarang terungkap, tabir kepalsuaan logika Faida dalam melaksanakan pemerintahan Jember. Banyak temuan bermunculan disana sini. Ia nampak sulit keluar dari jeratan kasus. Ia pelaku dari pendapat George Orwell, bahwa "bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati." Sehingga, kekuatan politiknya semula tampak bak beton, ternyata hanya karton. Ini disebabkan Jember Empire dibangun di atas kebenaran semu.


Publik berharap, Faida mengakhiri masa jabatan sebagai bupati Jember dengan husnul khatimah. Harapan tersebut disertai doa, semoga ada sisa-sisa kearifan dan kebijaksanaan selaku pemimpin, sehingga mengakhiri kontroversi dan mengkonsolidasi birokrasi kembali. Dengan demikian, pemerintahan baru tak dibebani birokrasi yang kacau, guna secepat-cepatnya menuntaskan masalah demi kemajuan Jember bagi semua. 


Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar