|
Menu Close Menu

Teror dan Nisfu Sya'ban

Senin, 29 Maret 2021 | 11.04 WIB

 


Oleh : Moch Eksan


Aksi teror Katedral Makassar, benar-benar diniatkan untuk teror. Pelaku bom bunuh diri beraksi di gereja, hari Minggu, jemaat sedang beribadat, dan jelang malam Nisfu Sya'ban. Pelaku  sengaja meneror umat Kristani dan Islam sekaligus. Sehingga, aksi tersebut tak terkait dengan agama apa pun, apalagi amaliah istisyhadiyah (bom jihad) ala anak muda Palestina dalam menghadapi agresi politik militer Israil.


Syeikh Yusuf Qardhowi pasti tak bakal memasukkan bom bunuh diri di berbagai belahan manapun di Indonesia pada katagori bom jihad yang dihalalkannya, sebab dilakukan di negara Darus Salam seperti Indonesia. Meskipun pelaku mengklaim itu bom jihad, tapi sejatinya bukan. Aksi teror di Ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan tersebut murni bunuh diri yang diharamkan oleh Islam.


Berdasarkan dalil-dalil yang qath'i, bunuh diri hukumnya haram. Apalagi bom bunuh diri, haram murakkab (haram yang berlipatganda). Sebab, bukan hanya merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain. Aksi teror Katedral Makassar menyebabkan 2 orang meninggal dan 20 korban luka-luka dari petugas keamanan dan jemaat gereja. 


"Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri karena sesungguhnya Allah sangat penyayang kepada kalian." (QS an-Nisaa’ [4]: 29). Dan, hadis Rasulullah SAW, "Siapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan di tangannya, ditusukkan ke perutnya di neraka jahanam dia kekal di dalamnya." (HR Bukhari Muslim).


Bom bunuh diri merupakan "jihad patologis" yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang mengalami gangguan jiwa. Mereka wajib menjalani terapi agama dan psikologis. Pemerintah dan ormas agama tak cukup melakukan kontrateror dengan kontranarasi dan kontrapropaganda. Akan tetapi, jejaring ideologi dan sosial bomber harus disehatkan agama dan jiwanya. Sebab, jelas mereka terjangkit penyakit jiwa akut, layaknya kasus bunuh diri pada umumnya.


Dalam bahasa Inggris bunuh diri disebut suicide yang berasal dari Bahasa Latin Suicidium yang berarti sebuah tindakan yang sengaja untuk mengakhiri hidup. Mereka rerata putus asa. Kematian dianggap jalan keluar untuk menghadapi pelbagai masalah. Banyak faktor yang menyebabkan bunuh diri. Antara lain depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketegantungan alkohol, penyelanggunaan obat, kesulitan keuangan, masalah interpersonal dan lain sebagainya.


Bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar ke-10 di dunia. Setiap tahun, ada 800 ribu sampai 1 juta kasus bunuh diri. Dan, ada 10-20 juta kasus percobaan bunuh diri yang gagal. Mereka gantung diri, minum racun, melukai diri, melompat dari ketinggian dan lain-lain.


Namun demikian, bom bunuh diri bukanlah bunuh diri biasa. Akan tetapi sebuah tindakan yang disengaja untuk menimbulkan dan menebar rasa ketakutan pada seluruh warga bangsa. Mereka ingin mengesankan, Indonesia tidak aman. Negara yang dihuni oleh gembong teroris. Pemerintah gagal memberi rasa aman dan nyaman bagi seluruh warga. Ormas Islam tak bisa memadamkan api teror dalam tubuh umat dan seterusnya. Pesan dan kesan inilah yang dikirimkan ke dunia di balik setiap aksi terorisme di Tanah Air.


Oleh karena itu, kita tak perlu takut. Seluruh warga bangsa tetap harus tenang dan menjalankan kegiatan sebagaimana biasa. Namun tetap meningkatkan kewaspadaan. Bahwa jejaring ideologi dan sosial teror masih seperti "hantu gentayangan" yang mencari korban. Boleh jadi kekuatan mereka sudah lemah dan kian terjepit, namun sesekali mereka menunjukan batang hidung. Mereka ternyata masih ada dan unjuk keberadaannya.


Saya berulang-ulang mengatakan, terorisme bukan cerita fiksi, bukan  rekayasa intelijen negara, akan tetapi ia merupakan faham pemikiran dan gerakan kekerasan yang bertujuan untuk menyebarkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat, untuk mempengaruhi pemerintah, dan menarik perhatian publik global.


Teror merupakan bagian strategi militer dan bom bunuh diri adalah taktik perang. Maka tak bisa hanya dihadapi dengan pendekatan sipil, mutlak harus dibarengi dengan pendekatan militer. Sebab, di balik aksi terorisme di Bumi Nusantara, eks milisi Morro, Thaliban, Al-Qaida, ISIS, dan lain-lain, yang terlibat perang asimetris di Philipina, Afghanistan, Irak, Suriah dengan pasukan rezim penguasa, ada di dalamnya. Mereka yang aktif dan intensif membuat kultur jaringan sel terorisme berbasis keluarga dan pernikahan.


Jessica Stern dan JM Berger dalam "ISIS The State of Teror" mengemukakan bahwa mereka adalah sekelompok milisi yang memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah. Mereka sekte Wahabisme dan Salafisme yang mengusung ideologi takfiri, jihad dan hijrah dalam makna politis. Sehingga, pemikiran dan gerakannya selalu berbenturan dengan kelompok politik lain, hatta perang fisik yang menelan korban jiwa sesama umat Islam. Di tangan mereka, makna Islam kabur antara agama politik dan politik agama.


Sayangnya, untuk meraih kekuasaan, kaum takfiri menggunakan kekerasan, padahal, tersedia jalan mengambil kekuasaan melalui mekanisme pemilu yang konstitusional dan legal. Disinilah, sumber keonaran demi keonaran yang menyeret mereka ke meja hijau dan hukuman mati di hadapan regu penembak. Serangkaian aksi teror terbukti menimbulkan korban jiwa yang tak bersalah, serta kerusakan  mental dan fisik bangsa.


Pada saat bangsa ini berjibaku dalam penanganan pandemi Covid-19, dan jelang umat Islam merayakan Malam Nisfu Sya'ban, tiba-tiba bom bunuh diri mengoyak kekhusyukan ibadah umat beragama. Damai gereja dan malam pembacaan Surat Yasin, tercoreng laku biadab yang haus darah. Mereka akan mendapatkan empat azab sekaligus. Yaitu penderitaan dunia, penderitaan menjelang kematian, penderitaan orang lain, serta penderitaan kekal di akhirat. Naudzubillahi min dzalik!


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "Dari Bom Bali Sampai Kuningan, Mencari Akar Terorisme di Tanah Air".

Bagikan:

Komentar