|
Menu Close Menu

Ending Polemik Kamus Sejarah

Jumat, 23 April 2021 | 09.51 WIB



Oleh : Moch Eksan


Sesungguhnya, istilah Kamus Sejarah, itu problematik dan buku Kamus Sejarah Indonesia, itu problematik sendiri. Ini ijtihad baru untuk membantu memahami sejarah Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan.


Kata Kamus itu berasal dari Bahasa Arab yang diserap dari kata Yunani  Ωκεανός (okeanos) yang berarti 'samudera'. Sedangkan, sejarah berasal dari Bahasa Arab (šajaratun) yang artinya 'pohon'. Jadi, secara harfiah kamus sejarah adalah samudera pohon.


Kamus sejarah Indonesia ibarat samudera pohon peristiwa yang terdiri dari batang, cabang, ranting, dahan, dan buah yang akarnya menghujam dalam perut bumi Nusantara. Buku ini merupakan perbendaharaan arti dan makna peristiwa masa lampau. Peristiwa ini meliputi pelaku, waktu, kejadian dan pengaruh terhadap perjalanan sejarah berikutnya.


Buku Kamus Sejarah bukan sekadar sumber informasi akan tetap bermakna nation formation (pembentukan bangsa) dan nation building  (pembangunan bangsa). Sebuah ikhtiar yang tiada akhir dalam membentuk dan membangun keindonesiaan.


Polemik dan ending polemik Buku Kamus Sejarah adalah bukti kepedulian semua pihak terhadap nasib dan masa depan Indonesia. Suatu nation state (negara bangsa) yang dibentuk dan dibangun oleh seluruh elemen anak bangsa tanpa terkecuali yang berasal dari suku, agama, budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. Semua merasa menjadi bagian dari sejarah negeri ini. Dan negeri ini juga bagian dari sejarah mereka.


Pelajaran berharga dari hilangnya nama KH Muhammad Hasyim Asy'ari dan munculnya nama Henk Sneevliet dalam Kamus Sejarah, adalah bukti bahwa selalu ada yang ingin memantik konflik. Luka lama dari konflik berdarah antara Islam satu sisi dan komunisme sisi lain selalu ingin dibuka untuk membenturkan antar kelompok anak bangsa.


Skenario konflik tersebut ternyata gagal, justru membawa hikmah bagi penyempurnaan buku Kamus Sejarah dan perluasan keterlibatan semua pihak untuk  memberikan sumbang saran. Dengan demikian, sejarah bukan hanya ditulis penguasa akan tetapi rakyat juga ikut menulisnya bersama. Sehingga, tak ada lagi istilah pembelokan atau penghilangan sejarah kelompok tertentu dalam kenduri kebangsaan. Bahwa, Indonesia tentang kita.


Pasca kunjungan Mendikbud, Nadiem Makarim ke kantor PBNU, bertemu dengan Prof Dr KH Said Aqil Siradj, Yeni Wahid dan beberapa pengurus NU lain (Kamis, 22 April 2021) dapat mengakhiri semua polemik yang terjadi. Pemerintah harus mengawali penulisan sejarah gaya baru, citizen historian (sejarah warga) ala SN Mukherjee. Gaya ini memupus pandangan bahwa sejarah tentang penguasa dan pemenang dalam pergulatan kekuasaan.


Sartono Kartodirdjo, guru utama sejarawan Indonesia dari Universitas Gajah Mada, menyatakan bahwa menulis sejarah jangan terpesona dengan aneka ragam kisah raja dan pembesar sekitarnya. Tetapi harus disadari bahwa rakyat, petani dan wong cilik juga punya peran sangat berarti dalam membentuk sejarah perjalanan bangsa.


Untuk itu, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud seyogyanya memperkuat tim penulis buku Kamus Sejarah ini dengan menambah sejarawan Islam dan nasional sekaligus. Draf buku yang telah direvisi dilakukan public review untuk mendapatkan saran dan masukan. Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan saran dan masukan tersebut, baru naik cetak, dipublikasikan dan dijadikan referensi sumber pembelajaran.


Di tengah derasnya arus ideologi transnasional, pembelajaran sejarah sangat penting dan strategis dalam rangka nation and character building (pembangunan karakter bangsa). Pelajaran sejarah bermanfaat untuk sarana pendidikan politik,  memperkuat nasionalisme, mengetahui lebih dalam bangsa sendiri dan bangsa lain, serta membiasakan berfikir diakronis dan sinkronik dengan multidisiplin.


Sebagai kata akhir dari tulisan ini, saya teringat pepatah Arab, Al-insanu 'aduwun 'an jahilihi (manusia itu musuh dari ketidaktahuannya). Kecurigaan dan purbasangka antar anak bangsa berawal dari ketidaktahuan. Ini bibit permusuhan dan biangkerok dari disintegrasi bangsa. Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar lita'arafu (saling mengenal) satu sama lain demi kemashlahatan manusia dan alam semesta.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar