|
Menu Close Menu

Intoleransi dan Urgensi Moderasi

Kamis, 29 April 2021 | 12.49 WIB



Oleh : Moch Eksan


Opini-Mayoritas umat Islam Indonesia moderat. Cap moderat mulai kabur dalam atlas umat beragama, tatkala kasus intoleransi mulai marak belakangan ini. Kasus terorisme jelang Ramadhan contoh paling anyar, baik kasus bom bunuh diri di Katedral Makassar maupun penyerangan di Mabes Polri.


Dua kasus terorisme di atas menyibak tabir fenomena gunung es intoleransi dalam beragama. Banyak warga bangsa yang mendukung dan setidaknya bersimpati pada gerakan jihadis di Indonesia. Serangkaian penanggulangan kasus terorisme, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), belum dapat menurunkan ghirah radikalisme di kalangan anak umat.


Maka dari itu, urgensi penguatan moderasi beragama sangatlah penting, bahkan sangat mendesak untuk mencegah arus intoleransi yang digandrungi sebagian anak umat yang keras. Mereka yang terjerat spiral ideologi kekerasan lantaran pendidikan dan lingkungan yang keras pula.


Badan internasional nirlaba, Save The Children melaporkan bahwa ada 357 juta anak di dunia yang tinggal di daerah perang. Atau 1 di antara 6 anak di dunia bermukim di wilayah konflik. Mereka kelompok yang sangat rawan menjadi korban atau pelaku kekerasan. Dom Helder Camara dalam teori spiral kekerasan, menyatakan bahwa korban kekerasan cenderung menjadi pelaku kekerasan berikutnya.


Tokoh agama, pekerja sosial dan pejuang antikekerasan asal Fortalesa Timur Laut Brazil tersebut, menguraikan kekerasan personal, institusional dan struktural bersumber dari ketidakadilan, kerusuhan sosial dan represi negara. Tatkala kekerasan demi kekerasan datang silih berganti, maka dunia terperangkap dalam spiral kekerasan.


Intoleransi itu dapat diibaratkan 'janin', dan radikalisme bagaikan 'anak  bayi', sementara terorisme sebagai 'anak dewasa' kekerasan itu sendiri. Sehingga mewujudkan kerukunan dan perdamaian, wajib meretas spiral kekerasan tersebut. Caranya mencegah lahirnya generasi keras yang direproduksi oleh pendidikan dan lingkungan yang keras.


Sebelum merinci cara preventif merebaknya kasus   intoleransi, terlebih dahulu yang harus dijawab. Apakah ada sumbangsih agama dan negara di dalamnya? Padahal Islam agama toleran dan Indonesia negara toleran? Untuk menjawab pertanyaan mendasar tersebut, kerangka berfikir das sollen dan das sain bisa digunakan.


Toleransi berasal dari Bahasa Latin, "tolerare" yang berarti sabar menahan diri dan sesuatu terjadi begitu saja tanpa terlibat sesuatu di dalamnya. Namun toleransi lumrah dimaknai sebagai suatu sikap dan prilaku menerima perbedaan sebagai kenyataan, menghormati perbedaan sebagai sunnatullah. Dampak dari sikap dan prilaku ini, tak pernah mempersoalkan perbedaan agama, suku, budaya dan adat istiadat. Orang toleran bersedia bergaul dan berbaur dalam kehidupan bersama.


Dalam perspektif das sollen, Islam mengajarkan toleransi di atas dasar konsep bersuku dan berbangsa, Islam rahmatan lil alamin, makarimal akhlaq, larangan memperolok Tuhan dan tempat ibadah orang lain, kafir dzimmi, berbuat baik dan adil terhadap orang tak menyerang agama dan negara, dan lana a'maluna walakum a'malukum.


Dalam perspektif das sain, religiusitas tak bersamaan dengan toleransi. Data 2015 dari The Legatum Institute's Prosperity Index, justru menyebutkan negara intoleran di dunia, 10 besar teratas adalah negara muslim. Antara lain: Yaman, Sudan, Mesir, Syiria, Haiti, Anggola, Yordania, Algeria, Mauritania, dan Afghanistan.


Sementara itu, Indonesia dalam perspektif das sollen, Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta melaksanakan ibadah berdasarkan agama dan keyakinan tersebut. Begitu juga slogan yang dibawa Burung Garuda berupa Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu jua).


Dalam perspektif das sain, 87,2 persen umat Islam Indonesia tak semua toleran terhadap agama dan keyakinan lain. Kemenag RI merilis Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB)  pada 2019 rerata 73,83. Dari 34 propinsi ada yang di atas rerata nasional dan ada juga di bawahnya.


Skors di atas nasional, Papua Barat 82,1, Nusa Tenggara Timur 81,1, Bali 80,1, Sulawesi Utara 79,9, Maluku 79,4, Papua 79,0, Kalimantan Utara 78,0, Kalimantan Tengah 77,8, Kalimantan Barat 76,7, Sumatera Utara 76,3, Sulawesi Selatan 75,7, Sulawesi Tengah 75,0, Jawa Tengah 74,6, DI Yogyakarta 74,2, Sulawesi Barat 74,1, dan Sulawesi Tenggara 73,9.


Sedangkan, skors di bawah nasional, Jawa Timur 73,7, Kalimantan Timur 73,6, Gorontalo 73,2, Kepulauan Bangka Belitung 73,1, Lampung 73,1, Kepulauan Riau 72,8, Maluku Utara 72,7, Kalimantan Selatan 72,5, Sumatera Selatan 72,4, Bengkulu 71,8, DKI Jakarta 71,3, Jambi 70,7,

Nusa Tenggara Barat 70,4, Riau 69,3, Banten 68,9, Jawa Barat 68,5, Sumatera Barat 64,4, dan Aceh 60,2.


Survey indeks KUB di atas dilakukan dua kali. Yaitu pada 16-19 Mei dan 12-24 Juni 2019. Total responden 13.600 orang dari 136 kabupaten/kota di seluruh provinsi Indonesia. Survey tersebut menyoroti tolerasi,  kesetaraan, dan kerjasama di antara umat beragama.


Skors di atas bisa dibaca terbalik untuk mengungkap fenomena gunus es intoleransi, ketimpangan dan konflik beragama di Indonesia. Skorsnya rerata 26,17 dengan interval 17,9 sampai 39,8. Yang membuat ketar-ketir penyebaran skors intoleransi, ketimpangan dan konflik beragama di atas rerata nasional di provinsi yang mayoritas berpenduduk muslim, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, NTB, Aceh dan lain sebagainya.


Oleh karena itu, moderasi merupakan jalan tengah ala Aristoteles dalam mewujudkan perdamaian dengan menarik ke tengah kelompok oligarki dan tiranisme dalam politik, atau kelompok liberalisme dan radikalisme dalam agama. Dalam wacana keislaman, dikenal konsep Islam wasathiyah. Kendati konsep ini tak bebas dari kritik. Sebab, kata wasathan disandarkan pada kata umat dalam QS Al-Baqarah/2:143. Bukan disadarkan pada agama Islam.


Lepas dari kontroversi tersebut, 'remoderasi' umat Islam merupakan rumah utama dari bangunan kerukunan umat beragama di Indonesia. Pemerintah, ormas Islam, para tokoh agama, guru agama, para aktivis dan masyarakat muslim punya tanggungjawab yang sama untuk membina dan menjalin kerjasama dalam mendakwahkan Islam wasathiyah.


Upaya dan usaha dari kelompok tengah Islam harus lebih semangat dan giat untuk menghalau arus kanan dan kiri Islam. Mereka tak mengenal lelah dan kata menyerah dalam mengembangkan ideologi dan gerakan sosial. Lantas, haruskah mayoritas Islam moderat mau mengalah. Barangkali tentu tidak. Semua demi mewujudkan Islam dinut tasamuh (agama toleran). Agama yang mengakui keanekaragaman suku dan bangsa sebagai wujud skenario Allah SWT agar manusia saling kenal dan berlomba-lomba menjadi suku dan bangsa yang terbaik.


Dalam konteks agama yang terbaik adalah ahsana khuluqan (sebaik-baiknya akhlaq) merupakan misi kenabian. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi seru sekalian alam. Sebagai rahmat tak ada paksaan dalam agama dan dilarang keras mengolok-ngolok Tuhan dan agama lain. Semua harus menyadari pilihan agama dan kepercayaan itu urusan privasi. Karena itu pertanggungjawabannya bersifat pribadi pula. Lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar