|
Menu Close Menu

Meluruskan Wasiat Aini, Legenda Terorisme Dunia

Sabtu, 03 April 2021 | 10.49 WIB



Oleh : Moch Eksan


Zakiah Aini (26 tahun), seorang perempuan lajang pelaku baku tembak di depan Kantor Mabes Polri. Seorang anak gadis asal Ciracas Jakarta Timur yang menyerang polisi seorang diri. Dengan senjata api, generasi milenial ini menembak 6 kali pada petugas polisi, sebelum akhirnya tertembak mati.


Aksi teror Aini memecahkan rekor aksi terorisme dunia yang dilakukan oleh perempuan. Dunia mencatat aksi bom bunuh diri perempuan dalam konflik bersenjata di berbagai negara. Di antaranya:


Pertama, Sanaa Mheidy (17) yang meledakkan diri pada saat pasukan Israel melakukan konvoi pada 1985. Puluhan pasukan meninggal dunia dan belasan lain luka-luka.


Kedua, Hawa Barayev (20), merupakan perempuan pertama kali dari Janda Chechnya yang melakukan bom bunuh diri di markas tentara Rusia pada 2000.


Ketiga, Arin Mirkan (22), perempuan Kurdi yang merupakan kelompok minoritas di Turki. Ia meledakkan diri di Pos Polisi  Istambul Turki pada 2014. Bom bunuh diri ini menewaskan seorang petugas keamanan dan puluhan korban luka.


Keempat, Sajida Al-Risyawi (45) meledakkan diri bersama suaminya, Ali Al-Shamari di Ballroom Hotel Amman Yordania 2005. Pasangan suami istri melakukan bom bunuh diri di tengah hajatan resepsi pernikahan. Ratusan orang tewas menjadi korban aksi Al-Qaidah Abu Musab Al-Zarqawi.


Kelima, Hasna Aitboulahcen (26) perempuan anggota ISIS yang terlibat drama baku tembak dengan polisi di Saint Denis Paris Prancis 2015. Ia meledakkan diri dengan rompi bom. Hasna bersama komplotan Abdul Hami Abu Aud baku tembak selama 2 jam lebih. Polisi menembakkan 5 ribu peluru dan granat untuk mematahkan serangan teror tersebut.


Aini dalam riwayat aksi terorisme dunia di atas paling "berani" di antara daftar pelaku teror perempuan di dunia. Ia menjalankan misi sendiri, menyerang markas polisi langsung dan terbuka, menggunakan senjata api, dan baku tembak dengan aparat. Berbeda halnya dengan Sanaa, Khava, Arin, Sajida dan Hasna, yang melakukan aksi teror bersama dengan orang lain, meledakan diri, dan kebanyakan melawan bangsa lain.


Dari surat wasiat Aini, terungkap motif, ia pelaku teror perempuan paling "nekad". Biasanya, perempuan terlibat aksi terorisme di Indonesia sebagai pembantu suami atau saudara. Semisal Umi Dalima, Nurul Azmi Tibyani, Putri Munawaroh, Munfiatun,  Ruqoyyah, dan lain sebagainya. Kecuali Dian Yulia Novi, perempuan asal Cirebon yang berhasil digagalkan oleh Pasukan Densus 88 Antiteror Polri, yang berniat melakukan bom bunuh diri.


Aksi paling berani dan nekad Aini ternyata tanpa sokongan keluarga. Ia benar-benar seorang jihadis sendiri di keluarga tersebut. Dalam surat wasiatnya, Aini menegaskan bahwa betapa ia sangat sayang pada keluarga, namun ia lebih memilih selamat atas jalan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Ia meyakini dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk keluarga di akhirat.


Bapak, ibu, dan saudara-saudaranya berbeda jalan dengan Aini. Ini terlihat dari berbagai pesannya pada keluarganya, seperti jangan lupa sholat untuk ayah, jangan pakai kartu kredit, jangan jadi darwis pemerintahan thogut bagi ibu, jangan mencari penghasilan yang bertentangan ajaran Islam, tinggalkan orang yang merasa berilmu, dekati ulama, tonton dakwah, tak bangga pada Ahok dan mengunakan hijab untuk kakaknya.


Pesan Aini kepada seluruh keluarganya agar tidak mengikuti kegiatan pemilu. Sebab, ia berpendapat bahwa orang-orang terpilih nanti akan membuat hukum tandingan Allah yang berasal dari Al-Quran dan Assunah.


Aini melanjutkan pesan kepada keluarganya, bahwa demokrasi, pemilu, Pancasila dan UUD adalah ajaran kafir yang jelas musyrik. Ia meminta keluarga menyelamatkan diri dari fitnah dunia: demokrasi dan pemilu, serta murtad tanpa sadar.


Dari berbagai pesan di atas, ada yang dituju kepada individu sebagai wasiat taqwa. Ada juga, yang dituju kepada masyarakat sebagai naqdu din (kritik agama) yang bias dan kontroversial. Bagaimana tidak? Indonesia bukan pemerintah thogut. Pancasila bukan agama, bukan dimaksud sebagai agama atau menggantikan posisi agama. 


Dalam studi pemikiran KH Dr (HC) Afifudin Muhajir, MAg, disebutkan Pancasila dalam timbangan syariah terdapat 3 rumusan kesimpulan berikut:


Pertama, Pancasila tidak bertentangan dengan syariat karena berdasarkan kajian induktif atas teks-teks syariat, tak ditemukan satu ayat atau satu hadits pun yang bertentangan 

dengan isi Pancasila.


Kedua, Pancasila selaras dengan syariat karena berdasarkan kajian 

tersebut, ditemukan beberapa ayat dan hadits yang sesuai dengan isi Pancasila.


Ketiga, Pancasila adalah syariat itu sendiri karena dalam teks-teks 

syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadits yang patut 

menjadi dalil.


UUD 1945 adalah konstitusi negara yang memberi kesempatan kepada umat Islam untuk memperjuangkan syariah Islam secara konstitusional dan institusional. Keberadaan kompilasi hukum Islam sebagai bagian dari hukum positif negara merupakan konfirmasi bahwa negara menjamin bagi setiap warga negara untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu, dan melaksanakan ibadah berdasarkan agama dan keyakinan tersebut.


Untuk itu, umat Islam harus ikut pemilu, dan mengisi semua institusi negara, baik jabatan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sehingga, keberadaan tokoh umat Islam dalam berbagai jabatan tersebut dalam rangka hirasatid din (menjaga agama) dan wasiyasatid dunya (mengatur dunia). Dengan demikian, kebijakan politik dan anggaran tak sampai merugikan agama dan bahkan justru mengukuhkan pelaksanakan syariah Islam sebagai wujud pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.


Akhirnya, saya kutipkan pidato Bung Karno, "Jikalau memang rakyat Indonesia, rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang, anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam".


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute dan Penulis buku "Dari Bom Bali Sampai Kuningan, Mencari Akar Terorisme di Tanah Air".

Bagikan:

Komentar