|
Menu Close Menu

10 Terakhir Ramadhan, Antara Indonesia dan Saudi Arabia

Senin, 03 Mei 2021 | 12.39 WIB



Oleh Moch Eksan


Indonesia dan Saudi Arabia merupakan negara muslim yang bisa menjadi cermin terbalik umat Islam dunia. Yang satu negara muslim Sunni terbesar di dunia dengan populasi muslim 87,2 persen dari 273,5 juta jiwa. Sedangkan, yang satu lagi negara muslim Wahabi terbesar di dunia dengan populasi muslim 100 persen dari 30,7 juta jiwa.


Indonesia negara demokrasi yang menjamin kebebasan beragama. Sedangkan, Saudi Arabia negara monarkhi Islam yang tak menjamin agama lain. Dua negara muslim ini berbeda cara memperlakukan umat beragama, kasus pindah agama dan kawin beda agama.


Indonesia menempatkan agama adalah hak warga negara. Sementara, Saudi Arabia memposisikan agama adalah kewajiban bagi tiap warga negara. Dengan demikian, posisi agama di hadapan hukum dan pemerintah membawa konsekuensi logis pada keberagaman agama satu  sisi dan keseragaman agama sisi lain. Di bumi Nusantara, semua agama berhak hidup, dan berkembang. Di bumi Hijaz, hanya Islam yang boleh hidup dan berkembang.


Siapapun di negeri ini dijamin dalam memeluk agama dan keyakinan apa pun. Kasus pindah agama dan kawin beda agama merupakan pesoalan pribadi. Negara tak bisa ikut campur terhadap pilihan sadar tersebut. Sebaliknya, di negara sana hanya menjamin agama dan kepercayaan Islam saja. Kasus pindah agama dan kawin beda agama dilarang keras. Pelaku murtad terkena sanksi hukum mati. Dan, pelaku kawin beda agama bagi perempuan akan menggugurkan hubungan keluarga dan hak waris.


Beberapa contoh di atas di level negara yang punya kekuatan memaksa, namun di level rakyat juga mencerminkan cermin terbalik pula. Salah satu contoh kecil dalam menyikapi 10 terakhir Ramadhan. Mobilisasi penduduk antara dua negara menjelang Hari Raya Idul Fitri tersebut, bertolak belakang.


Biasanya, masyarakat muslim Indonesia di akhir Ramadhan berbondong-bondong ke pasar dan memadati tempat perbelanjaan. Justru penduduk Raja Salman bin Abdul Aziz banyak yang melakukan iktikaf dan tumplek-blek di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.


Kebiasaan tersebut merupakan wujud perang isme dalam mewarnai keberagaman. Arus materialisme begitu sangat kuat di negeri ini, banyak para pemuka agama juga terpapar isme ini. Sementara itu, arus spiritualisme masih kental di negeri sana, medan magnet tanah suci mendorong perkembangan isme ini pula.


Sesungguhnya, materialisme dan spiritualisme bukan paham yang harus dipilih. Kedua paham ini telah berkembang saling mendekati satu sama lain, menjadi materialisme spiritual dan spiritualisme material. Sebab, manusia merupakan makhluk yang terdiri dari jasad yang bersifat materi dan rohani yang bersifat spirit.


Titik tengkar materialisme dan spiritualisme terletak pada klaim kebenaran tunggal dan pengingkaran terhadap kebenaran lain. Filsafat materi menganggap materi adalah satu entitas kebenaran dan fenomena apapun di dunia merupakan interaksi materi. Begitulah pendapat Filusif asal Jerman Ludwig Feuerbach. 


Adapun, filsafat spirit menganggap dunia merupakan sistem spiritual, dan semua fenomena yang terjadi baik fisik dan spiritual adalah wujud dari kehendak Ilahi. Begitulah ajaran Universal Church of the Master (UCM), organisasi spiritualisme yang berdiri di Los Angeles sejak 1908 sampai sekarang.


Di tataran ajaran, sangat terasa kesempurnaan Islam sebagai agama terakhir yang berfungsi mushaddiqan baina aidihim (pembenar atas kebenaran yang ada di antara mereka). Kedua isme di atas sama-sama diakui sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia yang melahirkan peradaban material dan spiritual. Walau trend yang menguat di antara negara muslim beragam. Indonesia dan Saudi Arabia ialah contohnya.


Indonesia negara yang punya ghirah untuk pembangunan masjid sangat tinggi. Sehingga perkembangan jumlah masjid sangat pesat. Jumlahnya sudah di atas 800 ribu masjid. Namun, ghirah untuk memakmurkan masjid masih tergolong rendah. Beda halnya dengan Saudi Arabia yang pembangunan masjid bertumpuh pada anggaran negara. Sehingga pertumbuhan jumlah masjid tak berkembang pesat. Jumlahnya tak sampai 100 ribu masjid. Namun, ghirah untuk memakmurkan masjid sangat tinggi.


Pada 10 terakhir Ramadhan sangat tergambar dengan jelas lanscap keberagaman dua negara ini. Perbedaan antara Indonesia dan Saudi Arabia merupakan horizon yang memperkaya spektrum keberislaman di dunia. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Itulah Islamku, Islammu dan Islam kita.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar