|
Menu Close Menu

Khofifah dan Hipokrasi Prokes

Jumat, 21 Mei 2021 | 13.21 WIB



Oleh Moch Eksan


Saya tak menyangka Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa melanggar Surat Edarannya sendiri. Perayaan ulang tahun ke-56 bisa berlangsung semeriah itu. Apalagi sampai mengundang artis Ibu Kota dan berkerumun tanpa mengindahkan social distancing. Open house saja dalam rangka silaturahmi   Hari Raya Idul Fitri dalam SE dilarang, apalagi sekadar ultah yang bisa diperingati dengan cara lain.


Pada SE Gubernur Jawa Timur Nomor: 451/10180/012.1/2021 poin 5 disebutkan 'Silaturrahmi dalam rangka Idul Fitri hanya dilakukan bersama keluarga dekat dan tidak menggelar kegiatan open house/halal bihalal di lingkungan kantor atau komunitas'. Ketentuan ini jelas untuk menghindari kerumunan yang berpotensi menimbulkan penularan Virus Corona. Selama Ramadhan 1442 telah ditemukan klaster penularan baru di Pati dan Banyuwangi, bagi jamaah sholat terawih. Di antara mereka ada yang positif dan ada pula yang sampai meninggal dunia.


Ada 2 video viral dalam konteks Jawa Timur. Satu video ultah Gubernur Khofifah dan satu lagi Wisuda SMAN 1 Wringin Anom Mojokerto. Dua kerumunan tersebut dalam proses penanganan protokol kesehatan jauh berbeda. Ultah di Grahadi dibiarkan dan Wisuda di Mojokerto dibubarkan. Proses penanganan pelanggaran prokes ternyata menggunakan standar ganda dan mengoyak rasa keadilan masyarakat.


Saya melihat perbedaan penanganan pelanggaran di atas, menggerutu menahan rasa marah. Praktek bernegara kian tak populis. Proses penegakan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Praktek semacam ini yang dikritik keras oleh Hujjatul Islam Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan 'Wa inna Allâh yuqîmu al-daulat al-‘ádilah wa in kánat kâfirah wa lá yaqûmu al-dhâlimah wa in kânat muslimah” (Dan Allah membiarkan bertahan negara yang adil sekalipun dipimpin oleh orang kafir; dan (Dia) tidak membiarkan [negara] dhalim untuk bertahan sekalipun dipimpin oleh penguasa Muslim)".


Barangtentu banyak yang gregetan melihat prilaku penyelenggaraan negara ala seni peran dramaturgi. Antara panggung depan dan panggung belakang berbeda. Kritik Mochtar Lubis pada saat menyampaikan Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki Cikini Jakarta pada 6 April 1977, masih sangatlah relevan.


Bahwasanya ada 6 ciri manusia Indonesia. Ciri utama adalah hipokrit alis munafik. Budaya Asal Bapak Senang (ABS) adalah bukti nyata. Banyak orang terperangkap pada  kepura-puraan. Kata dan perbuatan berbeda. Di depan dan di belakang berbeda pula. Kebiasaan ini terkadang sampai berbuntut pada kamuflase dan rekayasa kenyataan demi citra baik di hadapan publik.


Dalam kasus ultah Gubernur Khofifah, hipokrasi prokes tak bisa dibantah. Kata hipokrasi berasal dari bahasa Yunani hypokrisis yang berarti berpura-pura, cemburu dan pengecut. Dalam bahasa Indonesia, hipokrasi disepadankan dengan kata munafik di atas. 


Betapapun video yang viral dibantah oleh Agung Subagyo Kepala Biro Administrasi Pimpinan, menurutnya pesta ultah gubernur berjalan sesuai prokes, tapi tetap tak bisa meluruskan opini yang miring. Alasan lainnya, Agung mengatakan, bahwa acara tasyakuran bersama anak yatim dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pempov Jatim bertepatan dengan ultah Gubernur Khofifah dan Wakil Gubernur Emiel Dardak. Secara substansial, acara tersebut melanggar spirit teks dan konteks SE Gubernur Jawa Timur Sendiri. Bagaimana tidak?


Pertama, menggelar halal bihalal di kantor tak diperkenankan khawatir timbulkan kerumunan, apalagi ultah dengan sengaja mengggelar tasyakuran bersama anak yatim dan hiburan artis Ibu Kota, Katon Bagaskara. Kerumunan pasti sesuatu yang otomatis. Di video dan foto yang beredar luas menunjukkan peserta undangan ultah tak menjaga jarak dan melakukan kontak fisik.


Kedua, kegiatan silaturrahmi dibatasi hanya keluarga dekat. Para kepala OPD dan anak yatim sama sekali tak punya hubungan keluarga dengan Gubernur maupun Wakil Gubernur. Mereka para pejabat di lingkungan pemerintah pemprov yang sebatas punya hubungan struktural dan fungsional dengan kepala daerah dan wakil kepala daerah.


Ketiga, gubernur sebagai Ketua Satgas Penanggulangan Covid-19 membiarkan pelanggaran prokes dalam ultah dan rumah dinas pribadinya. Pembiaran ini ada unsur kesengajaan untuk 'menghilah' pelanggaran prokes. Ultah bukan halal bihalal, dan kumpulan bukan kerumunan.


Keempat, kasus pelanggaran prokes merupakan fenomena gunus es. Banyak pelanggaran di lingkungan pemerintah maupun masyarakat yang di-86-kan. Seakan-akan acara yang digelar sesuai dengan prokes. Dan kerumunan ditolerir dengan cukup memakai masker. Inilah puncak hipokrasi prokes yang penuh kepura-puraan.


Hipokrasi prokes bukan soal sederhana, tetapi ummul asbab dari ledakan kasus Covid-19 dan kegagalan mengendalikan laju pertumbuhan kasus baru. Sekarang di Indonesia, terdapat 1,75 juta kasus, 1,62 juta sembuh dan 48.669 meninggal. Rata-rata dalam 7 hari terakhir, tiap hari bertambah 5.201 kasus baru.


Oleh karena itu, rakyat Jawa Timur harus siap kecewa berat terhadap kinerja Gubernur Khofifah dalam penanggulangan Pandemi Covid-19. Tenyata, tak ada ketauladanan pemimpin. Semua yang nampak terlihat hanya hipokrasi prokes saja. Sejatinya, pejabat telah memberikan contoh melanggar yang bukan pelanggaran. Pandemi Covid-19 telah membuat banyak orang frustasi pada keadaan. Prokes dan vaksin belum dapat mengeluarkan Indonesia dan bangkit dari pandemi. Sampai kapan rakyat dikurung di camp Covid ini tanpa bisa berbuat apa-apa. Kecuali menunggu keajaiban dari langit. Wallahu a'lam bisshawab!


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar