|
Menu Close Menu

Tadarrus Papua, Terorisme Separatis

Rabu, 05 Mei 2021 | 11.53 WIB



Oleh Moch Eksan


Opini- Adalah Presiden KH Abdurrahman Wahid yang mengganti nama Irian Jaya dengan Papua pada 1 Januari 2000. Kebijakan ini wujud perubahan pendekatan dari militer pada budaya. Hasilnya kebijakan ini dapat menurunkan eskalasi kekerasan di Bumi Cendrawasih waktu itu.


Memang kebijakan Gus Dur ini ditentang banyak kalangan, lantaran membiarkan pengibaran Bintang Kejora dan Peringatan Ulang Tahun Papua 1 Desember. Ia menganggap itu sebagai ekspresi budaya semata. Papua tetap menjadi bagian integral dari wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sedari dulu sampai sekarang.


Dalam perspektif historis, Papua merupakan bagian dari daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan pada abad ke-14 dan 16, Papua merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Islam Tidore dan Ternate. Nama Papua itu sendiri berasal dari Bahasa Tidore "Papa-Ua", yang berarti tidak bergabung atau tak bersatu dalam satu otoritas kekuasaan. Tak ada raja yang memerintah waktu itu.


Di Papua acapkali terjadi perang suku karena hal sepele. TNI-Polri yang mencoba melerai kelompok yang berseteru, terkadang justru menjadi korban luka dan bahkan meninggal dunia. Di antara masyarakat Papua tidak ada satu kesatuan. Mereka tak saling kenal satu sama lain. 


Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar yang bisa dipahami. Sebab, di Papua sendiri terdapat 234 bahasa pengantar. Pada dekade 60an, dari 700 ribu penduduk, 500 ribu penduduk menggunakan 200  bahasa pengantar sendiri. Dimana bahasa itu tidak saling dimengerti antar suku. Terkadang bahasa pengantar itu hanya ada 50 penutur saja.


Kesenjangan SDM (Sumber Daya Manusia) yang membuat masyarakat Papua terjerembab dalam kubangan konflik berdarah. Sementara, ada juga kelompok masyarakat yang bersikeras ingin merdeka dari NKRI. Mereka tak menerima hasil Konferensi Malino Ujung Pandang Makasar Sulawesi Selatan pada 1946 dan Act Free Choice untuk Papua pada 1969 oleh UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).


Dalam Buku Filep Karma, "Seakan Kitorang Setengah Binatang Rasialisme Indonesia di Tanah Papua", Jim Hilmslie dalam pengantar buku ini memberi pernyataan tendensius berikut:


 "Bertahun-tahun sebelumnya, John Rumbiak, aktivis HAM terkemuka Papua yang menderita stroke pada 2005, mengatakan pada saya bahwa jantung persoalan di Papua Barat adalah rasialisme. Tak hanya 

rasialisme Indonesia, namun juga rasialisme negara-negara Barat dan 

Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengizinkan Penentuan Pendapat Rakyat atau Act of Free Choice pada 1969 dengan hanya 1025 orang. Mereka semua memilih integrasi dengan Indonesia. Sekitar 800 ribu warga Papua tak diberikan hak menentukan masa depan mereka".


Jadi sangat jelas ujung pangkal masalah Papua adalah masyarakat Papua itu sendiri. Mereka berselisih paham terhadap berbagai kesepakatan dan hasil jejak pendapat PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bergabung dengan Indonesia. Merekalah kelompok yang pro Indonesia dan pro kemerdekaan. Mayoritas sudah menikmati Otonomi Khusus seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 21/2001. Dan minoritas membangun OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan TPN PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat).


Pasca Benny Wenda mendeklarasikan pemerintahan sementara Papua di Inggris pada 1 Desember 2020, eskalasi kekerasan terus menerus merebak dan meluas. Baku tembak antara TNI-Polri Vs TPN PB sering menelan korban jiwa kedua belah pihak. Menkopolhukam menyampaikan jumlah korban sudah hampir 100 orang yang meninggal. Rerata mereka orang tak berdosa.


Kendati Mahfudz MD membantah pengerahan anggota TNI-Polri ke Papua sebagai operasi militer, KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) ini malah menggertak balik akan membantai tentara dan polisi serta orang Jawa bila kebijakan ini dilanjutkan. Nampaknya, Papua akan kembali menjadi medan perang terbuka. Korban sudah pasti tak bisa dielakkan. Ini jalan terpaksa yang harus ditempuh demi kewibawaan dan keutuhan NKRI.


Sesungguhnya, pada 10 September 2019, usulan referendum kembali pada Papua, ditolak oleh PBB. Penolakan ini kian menegaskan bahwa Papua merupakan bagian "sah" dari wilayah Indonesia. Keputusan ini sudah bersifat final dan mengikat bagi semua. Alasannya, sekali lagi ini berdasarkan uti possideti iuris, New York Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi 2504 PBB pada tahun yang sama.


Akan tetapi, KKB Papua terus-menerus membuat kekacauan di pulau terbesar kedua dunia setelah  Greenland Denmark. Mereka melakukan aksi kekerasan untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka berusaha untuk mendapatkan perhatian dunia. Walau gerbang kemerdekaan kian tertutup. PBB tetap memandang mereka adalah kelompok separatis yang demen menyebar fitnah dan hoax tentang Indonesia.


Sudah bisa dipastikan di balik TPN PB di atas ada kekuatan asing yang bermain ingin merusak keutuhan NKRI. Pulau seluas 785 ribu km2 ini, pada zaman penjajahan menjadi daerah rebutan Belanda dan Inggris. Papua Nugini di bawah koloni Britania. Sementara Papua di bawah koloni Netherlands. Kekuatan asing sekarang tak menampakkan diri   kepermukaan. Namun di balik layar menjalankan misi diplomatik dan militer, memasok persenjataan dan logistik.


Dari tadarrus Papua di atas, sikap pemerintah Jokowi sudah sangat tepat, kelompok Papua Merdeka adalah kelompok separatis, yang juga menggunakan cara kekerasan teror ala teroris. Sapu bersih mereka tanpa kasih kendor. Berantas terorisme separatis sampai ke akar-akarnya. Kedaulatan dan keutuhan NKRI di atas segala-galanya.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar