|
Menu Close Menu

Kritik Pada Failed Nation dari Ibas

Jumat, 09 Juli 2021 | 11.44 WIB

 

Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) (Dok/Istimewa)

Oleh: Moch Eksan


"Jangan sampai negara kita disebut failed nation atau bangsa gagal akibat tidak mampu menyelamatkan rakyatnya". Pernyataan tertulis Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menuai kontroversi. Pro kontra menyertai. Kritik atas kritik juga mengiringinya.


Baru kali ini pernyataan Ibas menjadi perbincangan luas publik. Selama ini, yang disorot menyangkut Ibas terkait dengan namanya yang disebut-sebut dalam kasus korupsi Anas Urbaningrum, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat.


Pernyataan Ibas di atas cukup menghentak kesadaran kita. Betapa Indonesia bisa jatuh terjerembab pada negara gagal karena penanganan Covid-19 yang salah. Sebuah negara gagal yang tak dapat menyediakan pelayanan publik akibat kelangkaan tabung oksigen, obat vaksin kurang manjur, peningkatan kasus baru dan kasus meninggal dunia pecah rekor harian selama pandemi melanda sejak 2 Maret 2020.


Sebagai sebuah warning, pernyataan Ibas tak ada yang salah. Tapi, beberapa orang menilainya tidak tepat di tengah pemerintah sedang mengatasi peningkatan kasus baru dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, percepatan program vaksinasi, serta tenaga kesehatan yang berjibaku dengan pasien positif.


Disamping penggunaan istilah "failed nation" mengacu pada "failed state" yang merupakan teori besar dan menjadi momok bagi negara mana pun. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Fund For Peace (FFP), pada 2005. Sebuah organisasi nirlaba yang berdiri sejak 1957, dan merupakan think thank (wadah pemikir) dan riset kelas dunia yang berpusat di Washington DC Amerika serikat.


FFP ini setiap tahun merilis hasil risetnya. Awal mula merilis Failed States Index (indeks negara gagal) sejak 2005-2013, kemudian merubah merilis Fragile States Index (indeks negara rapuh) sejak 2014-sekarang. Riset ini tentang kerentanan keamanan dan kekacauan. Lembaga yang didirikan oleh Randolph Campton menentukan peringkat negara dengan menggunakan 5 variabel dan 12 indikator. 


Yang 5 variabel meliputi kohesi, ekonomi, politik, sosial dan lintas sektor. Sedangkan yang 12 indikator mencakup aparat keamanan, elite yang terfaksinasi, keluhan kelompok, kemunduran ekonomi, pembangunan ekonomi tak merata, penerbangan manusia dan menguras otak, legitimasi negara, pelayanan publik, hak asasi manusia dan supremasi hukum, tekanan demografis, pengungsi dan pengungsi internal, dan intervensi eksternal. Untuk mengukur hal-hal tersebut memakai skor 0-10.


Terlihat sangat jelas, pernyataan Ibas tak berdasar pada variabel dan indikator yang dapat diukur, kecuali common sense ala George Edward Moore yang immaterial. Sehingga secara filosofis bisa diterima, namun secara saintifik tak bisa dibuktikan. Apalagi bila membaca rilis FFP 4 tahun terakhir sampai 2021 ini, Indonesia berada pada peringkat ke-99 dengan skore 67,6.


Majalah Foreign Policy, media yang biasa memuat rilis FFP setiap tahun, menyajikan peta bumi berwarna yang menunjukkan atribut dari masing-masing negara di dunia. Atribut tersebut menunjukkan kondisi kerentanan sebuah negara dari segi keamanan dan kekacauan. Peta Indonesia ternyata berwarna kuning dan berstatus peringatan. Di atas status ini warna hijau muda yang berlabel stabil dan di bawah warna orien yang berlabel peringatan yang ditinggikan. Lihat pada gambar berikut:

Memang harus diakui secara jujur,  posisi Indonesia berada pada transisi dari negara rapuh pada negara stabil. Indonesia tak sebaik Finlandia sebagai negara paling stabil di dunia, namun juga tak seburuk Yaman sebagai negara paling rapuh di dunia. Negeri ini membutuhkan kerja keras keluar dari zona merah dan melompat ke zona hijau.


Untuk itu, 5 kreteria umum bisa dijadikan starting point bersama dalam mengelola negeri ini. Antara lain:


Pertama, efektivitas kontrol pemerintah pusat terhadap seluruh wilayah Indonesia sampai ke level pemerintahan paling bawah. Terkecuali Papua, semua wilayah yang lain aman terkendali. Di Bumi Cendrawasih acapkali diwarnai insiden berlatar-belakang gerakan separatis terorisme. Gerakan Papua Merdeka (GPM) bersenjata yang terkadang mengacaukan keamanan dan kedamaian penduduk disana.


Kedua, penyediaan pelayanan publik yang baik dan memadai dari pemerintah di berbagai tingkatan. Memang tak semua penduduk Indonesia mendapatkan akses terhadap elektrifikasi dan air bersih. Presiden Joko Widodo mengakui, bahwa masih ada 433 desa, dan 5,2 juta penduduk belum mendapat saluran listrik. Sementara itu, masih ada 33,4 juta penduduk mengalami kekurangan air bersih.


Namun dari bidang pendidikan dan kesehatan, mayoritas penduduk Indonesia sudah dapat mengakses pendidikan dan memperoleh jaminan kesehatan bagi yang tak mampu. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 31 Desember 2020, mencatat 222,5 juta peserta atau setara dengan 81,3 persen populasi penduduk. Dan 132,8 juta peserta merupakan penerima bantuan iuaran (PBI) dari pemerintah, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) maupun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).


Ketiga, pemberantasan korupsi dan kriminalitas dengan tegas dan tuntas. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, sejak 2004-2021, menyebutkan telah memberantas 1.146 kasus korupsi. Sementara, crime rate (tingkat kriminalitas) mengalami penurunan. Pada 2017, per 100 ribu penduduk sekitar 129 kasus, pada 2018 turun menjadi sekitar 113, pada 2019 turun menjadi sekitar 103 kasus. Puncak penurunan pada September 2020 dan pada 2021 ini mengalami kenaikan kembali.


Keempat, imigrasi penduduk berlangsung dengan sukarela. Tak ada penduduk Indonesia yang mengungsi ke negara lain. Malahan, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), mencatat 13 ribu lebih pengungsi dari 45 negara masuk ke wilayah Indonesia. Mayoritas mereka tinggal di Jabodetabek. Mereka rerata dari Afghanistan, Somalia, dan Irak.


Kelima, penurunan ekonomi yang tajam dan drastis. Indonesia pada 2024 diprediksikan termasuk 5 besar dengan Produck Domistic Bruto (PDB) tertinggi menurut World Bank (Bank Dunia) dan International Monetary Fund (IMF). Di atas Indonesia, ada China, AS, India dan Jepang, sedangkan di bawah Indonesia, ada Rusia, Jerman, Brazil, Inggris dan Prancis.


Memang, Indonesia mengalami kontraksi ekonomi. Sempat tumbuh minus 0,74 persen year on year (yoy). Namun, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 4,4 persen pada 2021. Prediksi ini sama dengan proyeksi angka pertumbuhan ekonomi dari pemerintah.


Berbagai data di atas, menegaskan kondisi Indonesia terkini, yang tak seburuk dibayangkan Ibas dan juga tak sebaik yang digambarkan oleh penguasa. Publik berhak memberikan penilaian tersendiri. Boleh sama dengan Ibas atau pemerintah. Boleh juga berbeda. Indonesia negara inklusif yang merupakan prasyarat pertama dan utama jauh dari negara gagal.


Barangkali bila Ibas khatam membaca buku "Why Nation Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty" karya Daron Acemoglu dan James A Robinson. Maka, ia akan mempunyai kesimpulan berbeda dari pernyataannya yang sekarang. Sebab, politik dan ekonomi Indonesia dikelola secara inklusif bukan ekstraktif.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar