|
Menu Close Menu

Membaca Wacana Penggulingan Presiden Jokowi

Jumat, 13 Agustus 2021 | 23.07 WIB



Oleh: Moch Eksan


Opini-Dalam diskusi virtual dengan tema "Membaca Propaganda dan Issu Penggulingan Jokowi di Tengah Pandemi Covid-19", yang diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI), pada Jumat, 13 Agustus 2021, saya mengatakan bahwa wacana pemakzulan Presiden Jokowi bukan sesuatu yang haram, bukan pula sesuatu yang terlarang. Konstitusi kita membuka peluang pemberhentian presiden, sebagaimana ketentuan Pasal 7A UUD 1945.


“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden”.


Konstitusi kita menggariskan, bahwa DPR RI bisa mengusulkan pemakzulan Presiden karena salah satu dari dua hal berikut ini:


Pertama, presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, baik penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat maupun perbuatan tercela.


Kedua, presiden tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden seperti ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Proses pengusulan pemberhentian presiden terhadap MPR harus terlebih melalui pemeriksaan, persidangan dan keputusan MK. Bahwasanya pendapat DPR tentang pelanggaran hukum presiden terbukti di hadapan sidang dengan sah dan menyakinkan.


Hasil Keputusan Rapat Paripurna DPR dan hasil Sidang MK ini yang menjadi dasar pengusulan pemberhentian presiden pada Sidang Istimewa MPR.


MPR dapat menggelar Sidang Istimewa tentang usulan pemberhentian presiden, setidaknya sidang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR yang berjumlah 711 orang. Ini berarti, anggota yang hadir minimal 533 anggota.


Sementara, MPR dapat memberhentikan presiden dari jabatannya apabila 2/3 anggota yang hadir, menyatakan dukungan terhadap usulan pemberhentian presiden dari DPR. Ini berarti, anggota yang mendukung minimal 355 anggota.


Dalam konteks penggulingan Presiden Jokowi di tengah Pandemi Covid-19, nampaknya sulit. Mengingat konfigurasi politik parlemen dikuasi oleh partai koalisi pemerintah yang menguasai 427 kursi DPR.


Secara detail, mayoritas kursi DPR dari partai koalisi pemerintah di atas terdiri dari PDIP 128, Golkar 85, Gerindra 78, NasDem 59, PKB 58, dan PPP 19 kursi. Sedangkan, kursi DPR dari partai koalisi oposisi meliputi Demokrat 54, PKS 50 dan PAN 44 kursi.


Dengan demikian, wacana penggulingan Presiden Jokowi lebih merupakan kegenitan politik saja. Kekuatan oposisi dan masyarakat kritis sebetulnya sangat menyadari perihal peluang untuk memakzulkan presiden yang berkuasa sangat kecil. Sehingga, penggulingan di luar jalur konstitusi dan institusi juga dicoba. Ini berdasarkan pengalaman sejarah dari pemakzulan Presiden Soekarno, Soeharto dan Gus Dur.


Orang banyak lupa. Proses pemakzulan kepada tiga presiden tersebut tetap melalui jalur konstitusi dan institusi. Walau kekuatan politik parlemen sekadar mengakomodir gerakan ekstra parlemen yang mendesak presiden lengser keprabon. Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS yang dipimpin oleh Jenderal Besar HA Haris Nasution. Presiden Gus Dur juga diberhentikan oleh MPR yang dipimpin oleh Prof Dr HM Amien Rais MA. Presiden Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden setelah kerusuhan sosial, desakan mundur dari mahasiswa dan anggota MPR yang diketuai oleh HM Harmoko.


Jadi, wacana pemakzulan presiden menjadi warning kepada para pihak yang menggulirkan wacana presiden tiga periode yang menuntut amandemen UUD 1945. Bahwa prestasi pemerintah Presiden Jokowi tak amat-amat baik sehingga memberikan peluang berkuasa kembali untuk ketiga. Apalagi dalam penanganan Pandemi Covid-19, dinilai kurang berhasil mengendalikan penularan Virus Corona.


Selain itu, wacana pemakzulan Presiden Jokowi juga bagian dari pemanasan politik menjelang Pilpres 2024 yang tak akan diikuti oleh incumbent. Semua pihak punya peluang yang sama untuk maju dan menang pada pemilihan langsung yang akan datang. Banyak tokoh sudah memasang baliho di berbagai kota di Tanah Air. Ada Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, ada pula Abdul Muhaimin Iskandar.


Ironisnya, hasil survey dari berbagai lembaga, ternyata para pemimpin partai politik yang memasang baliho tersebut justru lebih rendah dari tokoh di luar partai. Kondisi ini mesti menjadi evaluasi dari petinggi partai. Mengapa rakyat lebih suka tokoh non partai yang berpengalaman di pemerintah? Saatnya partai berbenah agar partai menjadi lembaga Kaderisasi kepemimpinan nasional maupun daerah. Semoga!


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar