|
Menu Close Menu

Tiba-tiba Datangi Ombudsman Jatim, Ternyata Ini Permintaan Nelayan Tradisional

Kamis, 05 Agustus 2021 | 19.15 WIB

 Agus Muttaqin (tiga dari kiri) berfoto bersama Ketua KNTI Jatim Misbahul Munir (tiga dari kanan) di kantor Ombudsman Jatim. (Dok/istimewa)


lensajatim.id Surabaya–
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Timur tiba-tiba mendatangi Kantor Ombudsman  RI perwakilan Jawa Timur di kantornya di Ngagel Timur, Surabaya, Kamis (5/8/2021). 


Kedatangan organisasi nelayan tradisional tersebut dalam rangka melakukan audensi. Kepada Ombudsman, Pengurus KNTI Jawa Timur  menyampaikan nasib nelayan tradisional, utamanya  saat pandemi yang menurutnya sungguh mengenaskan. 


Selain bertahun-tahun tidak menerima subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagaimana yang dijanjikan pemerintah, mereka juga menjadi korban rumitnya birokrasi layanan administrasi perikanan. Mereka berharap Pemprov Jawa Timur mencarikan solusi atas permasalahan tersebut.


Misbahul Munir, Ketua KNTI Jawa Timur menyampaikan bila Jawa Timur memiliki Peraturan Gubernur (Pergub) No 36 Tahun 2017 yang menjadi dasar pemberian subsidi BBM bagi nelayan. Hanya saja, aturan subsidi BBM yang tercantum dalam pasal 2 huruf a tersebut tidak dapat terlaksana.


‘’Selama empat tahun ini, pergub itu belum ada juknis (petunjuk teknis). Dengan demikian, nelayan tradisional di Jawa Timur belum menikmati subsidi BBM tersebut,’’ tukas Munir didampingi peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jatim, Habib Mustofa.


Padahal, lanjut dia, subsidi BBM tersebut sangat dibutuhkan, mengingat kondisi perekonomian nelayan benar-benar terpuruk saat pandemi.


Menurut dia, belum adanya juknis membuat pemprov dan Pertamina kesulitan membuat skema penyaluran subsidi. Akibatnya, mayoritas nelayan tradisional tidak menikmati subsidi BBM.


"Dari survei di lima kabupaten/kota, 85 persen nelayan kecil yang tidak pakai BBM bersubsidi. Mereka terpaksa membeli BBM eceran meski harganya jauh lebih mahal,’’ kata Munir. 


Survei itu berlokasi di Surabaya, Gresik, Bangkalan, Sumenep, dan Banyuwangi. Di lima kabupaten/kota tersebut, lanjut dia, KNTI juga menemui hambatan mengakses besaran alokasi subsidi BBM. 


‘’Hanya di Gresik saja yang bisa diketahui subsidinya. Itu pun hanya persentase dari total anggaran dinas yang membawahi kelautan/perikanan. Persentasenya 0,35 persen dan 0,28 persen pada 2019 dan 2020. Sedang 2021 naik menjadi 0,57 persen,’’ jelasnya.


Itu pun belum tersalur ke nelayan, mengingat belum ada juknis penyaluran subsidi BBM.


Selain itu, lanjut Munir, nelayan kecil dihadapkan permasalahan rumitnya akses layanan publik administrasi perikanan. Sejumlah dokumen yang harus dilengkapi sebelum nelayan melaut, antara lain, pas (izin) kapal, kartu kusuka, kartu nelayan, BPKP (bukti pencatatan kapal perikanan), rekomendasi BBM bersubsidi, dan lain-lain. Semua dokumen itu dikeluarkan di kantor yang terpisah alias tidak melalui pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). 


‘’Mayoritas nelayan berpendidikan rendah, kalau dibebani banyak urusan administrasi perikanan tentunya ini menjadi beban tersendiri,’’ ujar dia.


 Akibatnya, mayoritas nelayan tradisional tidak mengurus dokumen-dokumen tersebut. Dari data survei di lima kabupaten/kota terungkap, 95 persen nelayan tidak mengurus surat rekomendasi, 91 persen tidak tahu cara/prosedur mengurus surat rekomendasi, 69 persen nelayan tidak memiliki kartu nelayan/kusuka, dan mayoritas nelayan memliki pengetahuan minim mengenai pas kapal dan BPKP.


KNTI mengusulkan, penyederhanaan administrasi perikanan, misalnya satu identitas multifungsi (satu data) sehingga identitas yang telah terkumpul itu bisa digunakan oleh instansi lain.


Di tempat sama, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur, Agus Muttaqin meminta agar pemprov memberikan perhatian terhadaop keluhan para nelayan tradisional tersebut.


Diakuinya, perikanan tangkap laut memang bukan urusan yang diprioritaskan saat pandemi, sebagaimana kesehatan dan pendidikan. Namun, hal tersebut tidak bisa menjadi alasan pemprov untuk mengabaikannya. 


‘’Para nelayan tradsional tetap memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik. Demikian pula, hak-haknya untuk mendapatkan subsidi BBM, mengingat para nelayan tradisional adalah kelompok masyarakat yang rentan menjadi koirban terdampak Covid-19,’’ pungkas mantan wartawan ini. (Red).

Bagikan:

Komentar