|
Menu Close Menu

Dukung RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Begini Masukan Akademisi Unusia

Rabu, 17 November 2021 | 09.34 WIB

Erfandi, Wakil Dekan Hukum Unusia. (Dok/Istimewa).


Lensajatim.id Jakarta-
Kontroversi, pro dan kontra terhadap Permendikbud no 30 Th 2021 mendapat masukan dari Wakil Dekan Hukum Unusia. Erfandi menyebut perdebatan tersebut tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap minimnya kekerasan seksual. Menurut Erfandi yang bisa menekan munculnya kekerasan seksual hanya bisa dilakukan melalui regulasi setingkat UU atau Perpu bukan dengan Permendikbud.


RUU PKS sekarang berubah jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sedang di bahas di Baleg saya kira bagus untuk terus dibahas hingga sampai pada pengesahan. " Karena memang faktanya saat ini banyak terjadi kekerasan seksual terjadi baik terhadap perempuan anak dan kaum rentan. Sehingga materi muatan pembahasan dalam RUU TPKS tidak hanya melindungi kaum perempuan saja melainkan juga ramah terhadap anak kaum lemah baik laki-laki ataupun perempuan," jelas Erfandi saat dikonfirmasi. Rabu, (17/11/2021).


Terkait judul, kata mantan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) ini,  terminologi yang lebih tepat terhadap judul RUU tersebut adalah RUU tindak pidana seksual karena kekerasan sendiri secara otomatis sudah masuk dalam tindak pidana. " Artinya mau ada kekerasan atau tidak selama itu mengandung pelecehan seksual baik itu kepada perempuan, anak ataupun laki-laki itu sudah masuk pada tindak pidana seksual," tandasnya.


Selain itu perlu juga diatur mengenai perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban dan pelaku dibawah umur. Betapa banyak korban seksual yang malah dijadikan korban stereotip jelek di masyarakat. Hal itu tentunya akan membuat korban semakin menderita sehingga pada titik ini negara melalui regulasi ini akan dapat berlaku dan memberikan perlindungan maksimum kepada korban.


Erfandi juga menambahkan, perlu diatur dalam tindak pidana seksual tersebut selain eksploitasi seksual, pemaksaan seksual, juga perlu diatur delik zina dalam RUU tersebut. Zina yang ada dalam KUHP selain tidak sesuai dengan nilai budaya dan norma bangsa juga sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman di Indonesia. Bagaimana mungkin zina dalam KUHP hanya mengatur terhadap orang yang salah satunya terikat perkawinan sedangkan yang tidak terikat perkawinan norma tersebut belum mangatur. Namun demikian khusus delik zina dimasukkan dalam delik aduan yang diperluas.


 " Ini mungkin hal baru delik aduan yang diperluas makanya perlu aturan Lex spesialis dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tersebut. Kedepan dalam kasus pelecehan seksual ini yang bisa mengadukan tidak hanya korban saja melainkan juga bisa diadukan oleh orang tua korban atau kalau kekerasan seksual terjadi di sekolah Guru juga bisa jadi pihak yang dapat mengadukannya. Karena korban kekerasan seksual kebanyakan malu dan enggan melaporkan karena dianggap aib sehingga aturan perlu diperluas," pungkas alumnus Universitas Trunojoyo Madura (UTM). (Red).

Bagikan:

Komentar