|
Menu Close Menu

Minyak Goreng dan Bukti Solidaritas Kebangsaan

Selasa, 05 April 2022 | 14.54 WIB



(* Oleh: Puspa Indah 


Lensajatim.id, Opini- Indonesia adalah negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Lantas mengapa minyak goreng menjadi langka di Negeri ini? Pertanyaan ini menghuni di setiap benak rakyat Indonesia beberapa hari belakangan. Pada tahun 2019 luas lahan kelapa sawit di Indonesia tercatat sebesar 14.456.611 hektar. Luas lahan kelapa sawit mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni 2018, dengan besaran 14.326.350 hektar. Luas kebun kelapa sawit terus mengalami peningkatan sekitar 7,89% atau sekitar 3.571.549 hektar. Lalu apakah lahan kelapa sawit di Indonesia pernah mengalami penyusutan pada rentang tahun 2014-2018, jawabnya pernah yakni di tahun 2016 mengalami penyusutan sekitar 0,5% atau sekitar 58,811 hektar. Kemudian lahan kelapa sawit kembali mengalami peningkatan dari tahun 2018 ke 2019. Lahan kelapa sawit di Indonesia tersebar di berbagai pulau di Indonesia, sebut saja pulau Sumatera yang menjadi pulau terbesar penghasil kelapa sawit diantaranya Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga Jambi. Lalu menyusul ada pulau Kalimantan sebagai pulau penghasil kelapa sawit terbesar ke dua yang diantaranya ada Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah.


Dari total luas lahan kelapa sawit 14.456.611 hektar di Indonesia, sebesar 54,94% atau sekitar 7.942.335 hektar dikelola oleh Perkebunan Besar Swasta, lalu 40,79% dikelola oleh perkebunan rakyat, kemudian 4,27% dari keseluruhan dikelola oleh negara melalui PBN (Perkebunan Besar Nasional). Ditinjau dari besaran persentasi pengolahan lahan kelapa sawit antara pihak swasta dan negara maka akan nampak ketimpangan yang tinggi. Bagaimana negara justru memiliki hak kelola atas lahan kelapa sawit jauh lebih sedikit ketimbang yang dikelola oleh pihak swasta.


Menurut sumber dari GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) produksi Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit di Indonesia pada tahun 2020 yakni sebesar 47.034 juta ton dan mengalami penurunan pada tahun 2021 sebesar 0, 31%, sehingga menjadi 46.888 juta ton. Dikatakan penyebab penurunan produksi di akibatkan factor keterbatasan pemupukan (pada tahun 2019-2020), juga factor cuaca. Sementara besaran konsumsi masyarakat Indonesia terhadap minyak kelapa sawit menurut Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang di lakukan oleh BPS pada tahun 2015-2020 terus mengalami peningkatan. Besaran peningkatan pertahun dari tahun 2015-2020 rata-rata sekitar 2,32% per-Tahun. Dengan memakai data dari tahun 2015-2020, dalam kondisi produksi dan konsumsi yang naik dan turun tersebut, menurut Publikasi Buletin Konsumsi Pangan Kementrian Pertanian pada tahun 2019, besaran produksi minyak kelapa sawit yang di hasilkan masih sangat mampu untuk memenuhi konsumsi Nasional, bahkan Indonesia masih bisa melakukan Ekspor ke luar negeri dengan besar kisaran 20,36 juta ton.


Berdasarkan data yang sudah ada bisa di katakan Indonesia harusnya masih bisa stabil dalam memproduksi Minyak kelapa sawit, Namun kenyataannya sejak awal tahun 2022 minyak goreng sudah mulai langka di pasaran yang kemudian disusul dengan melambungnya harga minyak goreng yang merupakan hasil keputusan pemerintah untuk menaikan HET (Harga Ecer Tertinggi). Adanya Perubahan keadaan yakni penurunan produksi minyak kelapa sawit secara besar-besaran dari tahun 2021 ke 2022 yang imbasnya sampai mengakibatkan kelangkaan di pasaran Indonesia ini layak untuk di pertanyakan. 


Sejauh apa pemerintah bisa mengontrol terkait pasokan produksi minyak yang dihasilkan oleh badan milik swasta. Bagaimana campur tangan pemerintah untuk tetap melakukan pengawasan terhadap sumber daya alam yang dikelola oleh pihak swasta. Serta bagaimana pemerintah tetap bisa menjamin kemakmuran rakyat atas sumber daya alam Indonesia yang di kelola oleh pihak swasta. Juga bagaimana pemerintah yang terkesan gerak cepat untuk menaikan HET (Harga Ecer Tertinggi) tanpa melakukan control penyebab kelangkaan minyak goreng dipasaran, jika di compare dengan keadaan dimana melimpahnya pasokan minyak goreng yang secara tiba-tiba ketika begitu kebijakan kenaikan HET di tetapkan. 


Wajah Tokoh Politik Indonesia


Bagaimana respon dan tanggapan para elite politik Indonesia hari ini juga tak kalah pentingnya untuk dibincangkan. Bagaimana respon mereka terkait kebijakan pemerintah yang terkesan sembrono dan tidak mempertimbangkan kemaslahatan rakyatnya. Respon para elite politik kita hari ini secara tidak langsung akan memperlihatkan sejauh apa kepentingan yang mereka emban, bagaimana wajah para elite politik kita hari ini. 


Salah satu tokoh politik berpengaruh di Indonesia dalam himbauannya terkait polemic minyak goreng malah justru terkesan menyalahkan rakyat Indonesia. Bagaimana rakyat Indonesia sampai bisa mengantre untuk membeli minyak goreng? Apa saja sebenarnya yang dilakukan rakyat Indonesia sepanjang hari, apakah mereka hanya menghabiskan waktu dengan menggoreng? Rakyat Indonesia harus merubah cara konsumsi makanan mereka dengan teknik lain, seperti halnya merebus atau mengukus. 


Melihat kembali dalam rentang sejarah, sampai dengan hari ini sesungguhnya respon dan solusi yang di tawarkan oleh para elite politik kita tidak jauh berbeda atau tidak mengalami perubahan. Dulu pada saat Orde baru, ketika Indonesia di hadapkan pada Krisis pangan, Soeharto pun pernah menyarankan masyarakat Indonesia dari konsumsi nasi (beras) untuk beralih dengan mengonsumsi tiwul (makanan olahan dari singkong). Pertanyaanya adalah apakah para elite politik kita mengalami keadaan stagnan? Apakah para elite politik Indonesia tidak memiliki inovasi dalam menghadapi problem-problem yang bisa dikatakan sebagai problem lama yang di alami Indonesia. Apakah para elite politik kita perlu banyak belajar dari Negara Tetangga yang lebih maju. Apakah ini adalah wajah sebenarnya dari Tokoh Politik yang berpengaruh di Indonesia yang dalam kampanyenya nya selalu mengusung tagline “perjuangan” dan “pro rakyat”.


Nasionalisasi Aset Negara 


Kembali pada kenyataan dimana pihak swasta justru memiliki andil kelola yang lebih tinggi dari pada Negara atas Lahan kelapa sawit dan produksinya. Posisi ini menunjukkan bahwa Negara tidak bisa meng-intervensi para pengelola swasta untuk tetap pada koridor “kemakmuran rakyat”. Lalu kalau sudah begini apakah pemerintah tetap tidak beranjak untuk mengganti posisi, bagaimana negara harusnya memiliki persentasi lebih tinggi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia. Apakah negara tidak menggunakan kekuasaanya untuk Nasionalisasi aset negara demi kemakmuran rakyat. 


Nasionalisasi adalah salah satu sarana untuk memperkokoh aspek emosional serta memupuk rasa nasionalisme sebagai bangsa yang merdeka. Hal tersebut dapat dilihat dari kemauan seluruh elemen bangsa Indonesia untuk berdikari (baca: mandiri) dalam segala aspek kehidupan. Jika ditarik sebuah simpulan, pola hubungan emosional secara nasional memiliki peranan penting untuk memperkokoh nasionalisme dan menjaga persatuan bangsa. Rasa dan komitmen emosional ini akan terwujud dalam bentuk kecintaan terhadap negara serta perasaan gelisah atau resah ketika ada bahaya yang mengancam aset-aset miliki bangsa Indonesia. 


Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 (3) menyatakan bahwa, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Melihat kondisi hari ini bagaimana lahan kelapa sawit sebesar 54,94% dari keseluruhan dikuasai oleh pihak swasta, ini adalah salah satu persoalan usang yang ada di Indonesia. Persoalan lama yang terus menerus terjadi dan memberi kesan bahwa negara abai terhadap aset-aset yang seharusnya di lindungi oleh negara atau ini adalah bentuk kepentingan beberapa kelompok penguasa di Negara ini yang hanya ingin mengenyangkan perutnya. 


(*Mahasiswa Sosiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Bagikan:

Komentar