Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Saya mulai diserang Buzzer. Akun Facebook saya yang meng-upload tulisan tentang Anies Rasyid Baswedan dibully. Mereka mempersoalkan keislaman Anies, mulai dituding Wahabi, belum haji sampai tak membangun masjid.
AKAR ISLAM
Akar Islam Anies jelas bukan Islam transnasional. Apalagi, ikut gerakan Islam Timur Tengah yang berkembang di Indonesia pada dekade 80an, baik Ikhwanul Muslimin Mesir, Hizbut Tahrir Lebanon, maupun Wahabi Arab Saudi.
Anies anak ideologi Islam Indonesia. Keluarga Baswedan merupakan keluarga muslim modern. Kakeknya, AR Baswedan merupakan pejuang kemerdekaan. Ia anggota Masyumi.
AR Baswedan juga aktif di Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) bersama dengan Dr Muhammad Nastir dan eks Masyumi lainnya. Sebuah Ormas Islam yang dibentuk 1967 yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan.
AR Baswedan ditempa di lembaga pendidikan Al-Irsyad Al-Islamiyah di Ampel Surabaya. Sebuah ormas Islam yang dirintis oleh Syeikh Ahmad Surkati pada 1914 dan bergerak di bidang keagamaan dan pendidikan.
Ayah Anies, Rasyid Baswedan merupakan dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII). Sebuah perguruan tinggi Islam pertama di Tanah Air. Kampus ini didirikan oleh para politisi muslim terkemuka, Dr Mohammad Hatta, Muhammad Natsir, Mr Mohammad Roem dan KH Wahid Hasyim, pada 8 Juli 1945.
Nama-nama besar dalam sejarah Indonesia tersebut, mendirikan kampus dengan tujuan untuk kebutuhan pendidikan tinggi yang bisa mengkombinasikan pengetahuan umum dan agama Islam.
Dosen dan mahasiswa UII tersebut banyak terlibat perang fisik melawan agresi militer Belanda di Jogya. Mereka memilih ikut mengangkat senjata daripada kuliah demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
ISLAM KOSMOPOLITAN
Back ground Islam Baswedan adalah Islam pembaharu yang mendobrak ortodoksi Islam tradisional. Mereka bukan kelompok alawiyyin yang melarang anak perempuan menikah dengan di luar klan keturunan Fatimah Zahrah, putri Nabi Muhammad SAW.
AR Baswedan sangat bangga, ibunya asli pribumi dan bukan keturunan Arab. Namanya Aliya Binti Abdullah Bin Ahmad Jarhum. Ibunya yang Indonesia sejati ini pulalah yang menjadi alasan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Memang, AR Baswedan mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI), namun ini bertujuan sekadar menjadi alat perjuangan kemerdekaan. Partai ini dibubarkan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
AR Baswedan meyerukan pembauran anak keturunan Arab dengan anak pribumi. Tentu, seruan ini diilhami oleh Faktwa Solo dari Syeikh Ahmad Surkati. Bahwa, menikah dengan bukan keturunan Arab boleh. Sebab prinsip musawah dan kafa'ah dalam pernikahan. Bahwa setiap orang sama di depan hukum syari'ah Islam. Tak ada beda antara Arab dan bukan.
Keluarga Baswedan itu penganut Islam inklusif. Mereka punya pergaulan yang luas, dalam maupun luar negeri. Anies berpandangan bahwa generasi sekarang harus punya 3 identitas. Yaitu, agama, negara dan dunia.
Kebiasaan Keluarga Baswedan berdiaspora ke berbagai negara di belahan dunia telah berakulturasi dan berasimilasi dengan budaya setempat. Mereka menguasai banyak bahasa dan adat istiadat negara tujuan. Misinya adalah dakwah dan berdagang.
Mulai dari Syeikh Umar, Awad, Abdurrahman, Rasyid, Anies sampai dengan anak keturunan Baswedan lain, membawa misi Islam terbuka. Islam yang berdialog dengan budaya yang beranekaragam, baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Dalam istilah Azyumardi Azra, tipikal Islam Baswedan adalah Islam Kosmopolitan atau Islam yang mendunia.
Oleh karena itu, sebuah kekeliruan yang sangat besar, menuding Anies itu HTI dan Wahabi. Apalagi lantaran ia bergaul dengan kelompok Islam ekslusif tersebut. Juga, tak tepat mengelompokkan Anies pada Syiah ataupun Islam Liberal. Sejatinya, ia penganut Islam Wasathiyah yang moderat.
KLAIM ASWAJA
Pada saat diterpa black campaign soal berbagai aliran dalam Islam di Pilgub DKI Jakarta, Anies dengan tegas menyatakan, bahwa ia adalah penganut Islam ala ahlisunnah waljamaah. Demikian pula waktu ditanya oleh Gus Miftah, dai kondang dari Yogyakarta, lagi-lagi ia menjawab dengan lugas. Bahwa ia pengikut Islam Aswaja.
Pengakuan Anies ini secara kultural bisa dilihat dari amal ibadah dan tampilan keseharian. Ia sholat berjamaah atau Jumat biasa menggunakan peci hitam, baju Koko dan sarung layaknya santri pada umumnya. Tak pernah, ia menggunakan surban imamah dan berjubah.
Anies membranding diri rambut rapi dan tanpa jenggot. Celana tak nampak cingkrang. Ia terlihat lebih suka berpakaian kemeja atau batik dipadu dengan celana panjang. Penampilannya sangat kasual ala para eksekutif muda di Asia, Eropa dan Amerika.
Peta gagasan Anies tak ada yang terdeteksi cenderung pada Islam kanan atau Islam kiri dalam pengertian Hasan Hanafi. Ia benar-benar berada di tengah yang telah menyelesaikan dialog Islam dan demokrasi. issu keadilan yang selalu diangkat dalam berbagai pidatonya disampaikan dengan bahasa universal bukan bahasa agama.
Pengakuan Anies secara struktural bisa ditelusuri dari keterlibatannya dalam kepengurusan Ormas Islam. Ia pernah aktif di HMI, dan menjadi salah satu anggota Majelis Penyelamat Organisasi HMI UGM pada 1989.
Pada tahun 2012-2017, Anies terpilih menjadi Presidium Majlis Nasional KAHMI pada Munas ke-9 di Riau, 30 November sampai 2 Desember 2012. Pada Munas tersebut, ia memperoleh 308 suara bersama dengan Mahfudz MD, Viva Yoga Mauladi, Anas Urbaningrum, Muhammad Marwan, Bambang Soesatyo, Reni Marlina, MS Kaban, dan Taufiq Hidayat.
Wajar, bila orientasi struktur Ormas Islam Anies tak NU seperti PMII, atau tak Muhammadiyah seperti IMM, atau ormas Islam lainnya. Sebab, ia adalah alumni HMI yang independen, baik secara organisatoris maupun etis. Ia hanya diajarkan hanif (cenderung pada kebenaran). Selain mempersonifikasi sebagai insan cita.
Nampaknya, insan cita HMI itu bisa dipotret dalam diri Anies. Ia insan akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam, serta bertanggungjawab bagi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT, sebagai tertuang dalam Pasal 4 AD HMI.
Alhasil, kualitas keislaman dan keindonesiaan Anies jelas disokong oleh anggota HMI dan KAHMI seluruh Tanah Air. Ia sosok yang menjaga dan merawat nilai identitas kader yang beriman, berilmu dan beramal demi kejayaan Ibu Pertiwi.
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
NB : Isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari penulis
Komentar